
RI News Portal. Depok, 25 Juli 2025 – Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia menegaskan bahwa lembaganya tidak terlibat langsung dalam proses penulisan ulang sejarah Indonesia yang saat ini sedang berlangsung. Dalam kegiatan Diskusi Publik Draf Penulisan Buku Sejarah Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Menteri Kebudayaan Fadli Zon memastikan bahwa penulisan sejarah sepenuhnya menjadi wewenang tim sejarawan.
“Kita (Kementerian Kebudayaan) tidak ikut campur dalam penulisan ulang sejarah Indonesia. Kita serahkan semuanya kepada para sejarawan, biarkan mereka yang menulis ulang sejarah Indonesia,” tegas Fadli kepada awak media usai diskusi publik tersebut.
Menurut Fadli, proses penulisan ulang sejarah dilakukan oleh 113 sejarawan dari berbagai lembaga pendidikan tinggi dan pusat studi sejarah di Indonesia. Ia menekankan pentingnya menjaga independensi akademik dalam proyek strategis kebudayaan ini, agar sejarah Indonesia ditulis berdasarkan metode ilmiah, bukan narasi politik atau aktivisme.

Penulisan ulang ini juga menjadi momentum penting untuk mengkaji kembali berbagai peristiwa kontroversial dalam sejarah Indonesia, termasuk tragedi etnis dan konflik sosial. Menteri Fadli menyebut, para sejarawan akan menempatkan peristiwa-peristiwa tersebut dalam konteks keindonesiaan yang luas dan reflektif.
“Kita akan berupaya untuk memandangnya dari sudut pandang berbeda. Kita belajar dari peristiwa yang terjadi, bukan untuk membangkitkan trauma, tapi untuk memahami dan berdamai dengan sejarah,” ujarnya.
Proses penulisan ulang ini diklaim tidak akan disusupi kepentingan politis ataupun tekanan dari pihak manapun. Tim sejarawan mengandalkan prinsip-prinsip historiografi modern, termasuk penggunaan sumber primer, triangulasi data, dan penulisan narasi yang inklusif.
Pakar sejarah Universitas Indonesia, Prof. Dr. Retno Mulyani, dalam forum yang sama menambahkan bahwa upaya ini juga menjadi bagian dari dekolonisasi pengetahuan, di mana narasi sejarah nasional tidak lagi berfokus pada pusat kekuasaan semata, melainkan juga pada sejarah lokal dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan.
“Ini bukan hanya penulisan ulang, tapi juga reposisi narasi. Kita ingin sejarah Indonesia menjadi milik semua elemen bangsa,” ungkap Retno.
Menteri Fadli menyatakan harapannya agar buku sejarah Indonesia versi baru ini dapat diterima masyarakat luas, terutama generasi muda. Menurutnya, sejarah tidak hanya untuk dikenang, tetapi juga sebagai sarana edukasi dan rekonsiliasi nasional.
“Kalau bukan sejarawan yang menulis, siapa lagi? Mereka memiliki metodologi, pemahaman akan historiografi, dan etika akademik dalam menulis sejarah bangsa,” pungkasnya.
Revisi sejarah bukanlah hal baru dalam praktik kebangsaan. Di negara-negara dengan pengalaman transisi politik dan konflik, penulisan ulang sejarah menjadi instrumen penting untuk menghadirkan keadilan naratif dan memperkuat rekonsiliasi nasional. Namun demikian, transparansi proses, keterlibatan publik, dan jaminan kebebasan akademik harus dijaga agar sejarah tidak menjadi alat kekuasaan, melainkan ruang pembelajaran kolektif bangsa.
Pewarta : Albertus Parikesit
