
RI News portal. Lamongan, Jawa Timur – Upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Lamongan kembali menjadi sorotan setelah munculnya kasus dugaan tindakan asusila terhadap dua balita di Kecamatan Tikung. Menanggapi hal ini, Ketua Komisi D DPRD Lamongan, Tulus Santoso, mendesak pemerintah daerah untuk memperluas jangkauan edukasi perlindungan anak hingga ke tingkat desa.
“Edukasi soal perlindungan anak jangan hanya menyasar sekolah formal di perkotaan. Masyarakat desa, terutama para orang tua, juga harus memahami cara mencegah dan melindungi anak dari tindak kekerasan,” tegas Tulus, Kamis (17/7/2025).
Politisi Partai Golkar tersebut menilai kasus yang tengah ditangani Polres Lamongan merupakan peringatan keras bagi semua pihak. “Lingkungan yang aman bagi anak harus diciptakan, baik di rumah maupun masyarakat sekitar,” ujarnya. Ia mendorong agar sosialisasi tidak hanya dilakukan melalui jalur pendidikan formal, tetapi juga melalui komunitas desa seperti posyandu, pengajian, maupun forum RT, dengan melibatkan tokoh masyarakat dan kader perempuan sebagai penggerak.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Lamongan, Umuronah, menyatakan bahwa pihaknya akan memperkuat kolaborasi lintas sektor. “Kami bersinergi dengan pemerintah desa, sekolah, perguruan tinggi, hingga organisasi perempuan dan keagamaan seperti Fatayat, Aisyiyah, dan Nasyiatul Aisyiyah. Edukasi dilakukan langsung ke masyarakat dan lembaga pendidikan,” ujarnya.
Selain edukasi, DP3A juga memberikan pendampingan psikologis kepada korban dan keluarga, serta mendorong pembentukan forum anak dan jejaring perlindungan anak terpadu di setiap desa. Berdasarkan data DP3A, sebanyak 20 kasus kekerasan seksual terhadap anak tercatat selama Januari–Juni 2025, sebagian besar terjadi di lingkungan terdekat korban.
Sebelumnya, Polres Lamongan menetapkan seorang pria berinisial WAS (46), warga Kecamatan Tikung, sebagai tersangka dugaan tindak asusila terhadap dua anak perempuan berusia 5 dan 3 tahun. Pelaku dijerat Pasal 82 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.
Baca juga : Surabaya Tingkatkan Daya Saing Investasi melalui Inovasi Layanan DPMPTSP
Kasus Lamongan menegaskan pentingnya strategi perlindungan anak berbasis komunitas. Pendekatan edukasi yang hanya mengandalkan sekolah formal terbukti kurang efektif menjangkau masyarakat pedesaan. Studi tentang perlindungan anak di daerah menunjukkan bahwa pencegahan kekerasan seksual memerlukan kombinasi edukasi, pengawasan, serta penguatan jejaring sosial berbasis kearifan lokal.
Dalam perspektif kebijakan publik, kolaborasi multisektor yang dilakukan DP3A sejalan dengan paradigma child-centered governance, yakni pelibatan lintas aktor, mulai dari pemerintah desa hingga organisasi keagamaan. Strategi ini juga mendukung implementasi Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya target 16.2: mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap anak.
Namun, efektivitas kebijakan ini bergantung pada konsistensi sosialisasi, pembiayaan, dan evaluasi program di tingkat akar rumput. Perlu adanya regulasi turunan di tingkat kabupaten berupa Peraturan Bupati (Perbup) tentang perlindungan anak berbasis desa, sehingga program edukasi tidak hanya bersifat ad hoc, melainkan terintegrasi dengan perencanaan pembangunan desa.
Pewarta : Wisnu
