
RI News Portal. Jakarta, 15 Juli 2025 — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat akan segera menjatuhkan vonis terhadap terdakwa mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, dalam perkara dugaan korupsi importasi gula nasional. Sidang pembacaan putusan dijadwalkan berlangsung Jumat, 18 Juli 2025, dan menjadi penutup rangkaian proses hukum yang menyita perhatian publik serta menimbulkan perdebatan tentang integritas tata kelola perdagangan nasional.
Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika dalam persidangan Senin (14/7/2025) menegaskan bahwa putusan akan menjadi agenda akhir perkara ini. “Sidang selanjutnya adalah pembacaan putusan dari majelis hakim,” ujar Dennie. Hakim juga memerintahkan terdakwa hadir secara langsung di ruang sidang utama Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, setelah sebelumnya kembali ditahan menjelang pembacaan vonis.
Dalam sidang terakhir yang mengagendakan penyampaian duplik, Thomas kembali menyatakan harapannya untuk dibebaskan. “Saya tetap pada permohonan saya kepada majelis hakim,” ucapnya dalam sidang, Senin lalu.

Jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut Thomas Lembong dihukum tujuh tahun penjara, karena dinilai terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang selama menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Perkara ini terkait kebijakan importasi gula nasional yang disebut merugikan keuangan negara hingga Rp578 miliar.
Kerugian tersebut, menurut dakwaan, timbul akibat selisih harga impor, mark-up data, dan penerbitan izin yang tidak sesuai regulasi. Jaksa menjerat Thomas dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana.
Kasus Thomas Lembong menjadi preseden penting dalam perdebatan hukum administratif dan pidana atas tindakan kebijakan. Salah satu isu krusial adalah apakah keputusan seorang menteri dalam menerbitkan izin impor — sebagai bentuk diskresi administratif — dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi bila terbukti menimbulkan kerugian negara.
Baca juga : KPK Periksa Komisaris Utama PT Insight Investments Management dalam Kasus Investasi Fiktif Rp1 Triliun
Sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan (UU No. 30 Tahun 2014), diskresi diberikan kepada pejabat untuk mengisi kekosongan hukum demi kepentingan umum. Namun, diskresi yang melanggar prinsip akuntabilitas dan keadilan dapat dijadikan dasar penilaian perbuatan melawan hukum.
“Pembuktian penyalahgunaan wewenang harus hati-hati agar tidak mencampuradukkan ruang kebijakan publik dengan pertanggungjawaban pidana,” ujar Dr. Irawati Siregar, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia.
Dari sisi kebijakan publik, perkara ini membuka ruang evaluasi terhadap tata kelola perdagangan komoditas strategis, seperti gula. Selama menjabat, Thomas dikenal sebagai figur reformis yang mendorong liberalisasi dan efisiensi pasar. Namun, proses importasi yang tidak transparan justru menciptakan spekulasi dan potensi konflik kepentingan, terutama dalam distribusi kuota dan harga pasar.
“Terlepas dari niat awal kebijakan, jika proses pelaksanaan mengabaikan prinsip keadilan dan pengawasan internal, maka risiko penyimpangan sangat besar,” terang Prof. Rina Martawardaya, ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada.
Putusan pada Jumat mendatang tidak hanya akan menentukan nasib hukum Thomas Lembong, tetapi juga memberi sinyal penting tentang batas antara kebijakan publik dan penyalahgunaan kewenangan. Vonis ini diprediksi menjadi barometer baru dalam penguatan akuntabilitas pejabat publik, khususnya dalam sektor perdagangan dan pengelolaan sumber daya strategis.
Apabila divonis bersalah, maka perkara ini dapat memicu audit ulang atas kebijakan-kebijakan serupa di kementerian teknis lainnya. Sebaliknya, jika dibebaskan, hal tersebut bisa menguatkan argumen perlunya diferensiasi antara kebijakan keliru dan tindakan pidana.
Penguatan sistem transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan perdagangan menjadi salah satu rekomendasi jangka panjang untuk mencegah replikasi kasus serupa.
Pewarta : Yogi Hilmawan
