
RI News Portal. Purwokerto, 16 Juni 2025 — Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin, menegaskan bahwa pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP harus diarahkan sebagai instrumen hukum yang progresif dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Pernyataan tersebut disampaikan saat dirinya menjadi pembicara kunci dalam seminar nasional bertajuk “RUU KUHAP: Solusi atau Masalah Baru dalam Penegakan Hukum di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Senin (16/6).
Dalam sambutannya yang disampaikan secara daring, Burhanuddin menggarisbawahi bahwa UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP saat ini sudah tidak lagi relevan dalam menghadapi kompleksitas kejahatan modern, dinamika sosial, dan perkembangan teknologi hukum di Indonesia. Oleh karena itu, pembaruan hukum acara pidana tidak bisa ditunda lagi.
“KUHAP yang berlaku sekarang sudah usang secara konseptual. Ia tidak cukup adaptif terhadap bentuk-bentuk kejahatan kontemporer, dan kurang melindungi hak-hak dasar individu dalam proses pidana,” tegas Burhanuddin.

Menyitir pemikiran tokoh hukum progresif Indonesia, almarhum Prof. Satjipto Rahardjo, Burhanuddin menegaskan bahwa “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Maka dari itu, pembentukan RUU KUHAP harus bertolak dari filosofi humanistik yang menempatkan manusia sebagai subjek yang harus dilindungi oleh hukum, bukan sebagai objek represi negara.
Burhanuddin menekankan bahwa penyusunan RUU KUHAP harus memenuhi prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation), yakni hak masyarakat untuk didengar, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapatkan penjelasan terkait substansi aturan yang akan mengikat mereka. Di samping itu, RUU tersebut harus secara eksplisit menjamin prinsip-prinsip peradilan yang adil (fair trial), seperti pengakuan HAM bagi tersangka/terdakwa, supervisi atas kekuasaan jaksa, dan jaminan akses terhadap bantuan hukum.
Ia juga menyatakan bahwa KUHAP lama masih mengandung paradigma represif yang mengabaikan keseimbangan kekuasaan antara lembaga penegak hukum dan perlindungan terhadap hak tersangka. Menurutnya, pendekatan tersebut harus ditinggalkan dan digantikan dengan kerangka hukum acara yang menekankan pada akuntabilitas, transparansi, dan keseimbangan antara kekuasaan penyidik dan perlindungan individu.
Salah satu isu kunci yang diangkat dalam seminar adalah urgensi memasukkan pendekatan restorative justice ke dalam struktur hukum acara pidana nasional. Burhanuddin menyatakan bahwa meskipun konsep keadilan restoratif sudah masuk dalam KUHP 2023 dan telah dipraktikkan oleh aparat hukum, namun belum ada landasan hukum acara yang memadai untuk penerapannya secara sistemik.
“Restorative justice bisa menjadi solusi atas overkriminalisasi dan kepadatan penjara, tetapi harus dilembagakan secara tegas dalam KUHAP yang baru,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya membangun sistem pemeriksaan dan pengawasan (checks and balances) terhadap lembaga penegak hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. RUU KUHAP, kata Burhanuddin, harus mempertegas mekanisme pengawasan eksternal dan internal terhadap jaksa, penyidik, dan hakim agar prinsip keadilan tidak hanya menjadi retorika normatif, tetapi implementatif.
Seminar nasional ini juga menghadirkan sejumlah narasumber terkemuka, antara lain anggota Komisi III DPR RI Rikwanto, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Asep Nana Mulyana, Guru Besar FH Unsoed Prof. Hibnu Nugroho, dan advokat Hermawanto. Forum ini menjadi ruang penting untuk mengkritisi serta merumuskan arah pembaruan hukum acara pidana yang tidak hanya legalistik, tetapi juga responsif terhadap kebutuhan masyarakat sipil dan praktik peradilan yang adil.
Prof. Hibnu, dalam pandangannya, menyatakan bahwa pembaruan KUHAP harus memperkuat prinsip due process of law, bukan memperluas diskresi aparat penegak hukum. Ia juga menekankan perlunya desentralisasi akses bantuan hukum agar tidak hanya dinikmati kalangan tertentu.
Sementara itu, Rikwanto dari Komisi III DPR menyampaikan bahwa RUU KUHAP tengah dalam tahap harmonisasi lintas fraksi, dan pihak legislatif terbuka menerima masukan dari akademisi, praktisi, serta masyarakat sipil demi menghasilkan hukum acara pidana yang demokratis dan berkeadilan.
Seminar nasional di FH Unsoed ini menjadi refleksi penting atas kebutuhan transformasi sistem peradilan pidana Indonesia. RUU KUHAP bukan semata dokumen legal, tetapi fondasi bagi tata kelola hukum yang lebih adil, humanistik, dan adaptif terhadap zaman. Dalam konteks ini, seruan Jaksa Agung agar RUU KUHAP menjadi instrumen progresif dan berbasis HAM merupakan panggilan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk tidak lagi menunda reformasi hukum acara pidana di Indonesia.
Pewarta : Dimas Syarif

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal
#teman, #all, #wartawan, #berita