
RI News Portal. Jakarta 27 Mei 2025 – Nama Depok yang kini identik sebagai kota penyangga Jakarta ternyata menyimpan sejarah panjang yang sarat dengan muatan kolonialisme, penyebaran agama, dan pembebasan budak. Tak banyak yang mengetahui bahwa sebutan Depok berasal dari frasa dalam Bahasa Belanda: De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen, yang berarti Organisasi Kristen Protestan Pertama. Sejarah ini berakar dari inisiatif seorang tokoh kolonial Belanda bernama Cornelis Chastelein, yang dikenal sebagai eks pegawai tinggi VOC serta dermawan yang membebaskan budak-budaknya.
Cornelis Chastelein (1658–1714) adalah seorang Kristen Protestan yang memiliki jabatan tinggi dalam struktur VOC, dengan karier yang menanjak dari pengawas gudang hingga menjadi anggota Raad van Indië (Dewan Kota Batavia). Catatan dalam buku Depok Tempo Doeloe (2011) menunjukkan bahwa setelah dua dekade bekerja di VOC, ia membeli tanah di Weltevreden (kini kawasan Gambir) pada 1693. Dua tahun berselang, ia memutuskan pensiun dan membeli tanah di Srengseng (sekarang Lenteng Agung), lalu membangun sebuah rumah besar di sana dan memulai kehidupan sebagai tuan tanah.

Di sinilah kisah Depok bermula. Chastelein membawa serta keluarganya dan lebih dari 150 orang budak yang sebagian besar berasal dari luar Jawa. Sebagai seorang Kristen yang saleh, ia menaruh perhatian besar pada hak asasi manusia dan perlakuan terhadap budak. Ia bukan hanya memberi mereka tempat tinggal, tetapi juga mendidik mereka dalam ajaran Kristen dan mempersiapkan mereka untuk hidup merdeka.
Menurut catatan Tri Wahyuning M. Irsyam dalam Berkembang dalam Bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950–1990-an (2017:41), “Ketika pindah ke Seringsing (Srengseng), Chastelein bukan hanya membawa keluarganya melainkan juga budak-budaknya.” Komunitas ini kemudian dikenal sebagai De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen, yang dalam perkembangan fonetik dan sosial, melahirkan nama Depok.
Tindakan Chastelein memerdekakan budaknya memiliki implikasi sosial dan hukum yang luar biasa untuk masa itu. Dalam surat wasiat tertanggal 13 Maret 1714—tiga bulan sebelum wafat pada 28 Juni 1714—Chastelein menuliskan bahwa seluruh kekayaannya akan diwariskan kepada bekas budak-budaknya yang telah ia merdekakan. Tanah di wilayah Mampang, Srengseng, hingga Depok menjadi warisan bersama. Para mantan budak diberi wewenang untuk mengelola perkebunan tebu, pala, kopi, dan lada—komoditas yang sangat bernilai pada masa kolonial.
Baca juga : Pelepasan Jemaah Haji Tangerang Selatan 2025: Pilar Saga Ichsan Tekankan Nilai Spiritualitas dan Kebangsaan
Langkah ini menjadikan komunitas Depok sebagai salah satu komunitas pribumi merdeka pertama yang memiliki hak atas tanah dan organisasi sosial keagamaan sendiri. Hal ini menandai terbentuknya sebuah komunitas Protestan independen di luar sistem VOC, yang tetap bertahan bahkan hingga masa pascakolonial.
Walau asal-usul nama Depok telah ditelusuri oleh banyak sejarawan ke akar Protestan Belanda tersebut, beberapa versi lain terus bermunculan di ruang publik. Salah satu versi populer menyebut Depok sebagai akronim dari “Daerah Permukiman Orang Kota”. Meski tidak memiliki dasar historis kuat, versi semacam ini menjadi bagian dari dinamika linguistik dan identitas lokal kontemporer.

Namun, sebagaimana ditegaskan oleh banyak kajian, nama Depok pada awalnya adalah simbol dari resistensi budaya dan warisan kebebasan beragama yang dirintis oleh komunitas eks-budak. Dalam konteks ini, Depok tidak sekadar nama wilayah, melainkan juga simbol dari mobilitas sosial, warisan kolonial yang unik, dan jejak pluralisme agama dalam sejarah Indonesia.
Kini, Depok menjadi kota modern yang terus berkembang di tengah arus urbanisasi dan modernisasi Jabodetabek. Namun, memahami sejarah Depok bukan hanya sekadar menelusuri akar kata, melainkan menyelami kisah kemanusiaan, keimanan, dan transformasi sosial dari masa kolonial menuju Indonesia modern.
Di balik bangunan dan jalan-jalan yang padat di Depok hari ini, tersimpan warisan penting tentang bagaimana satu komunitas kecil, yang dibangun atas dasar kebebasan dan kesetaraan, dapat memberi kontribusi besar pada sejarah sosial dan religius di tanah Jawa.
Pewarta : Yudha Purnama

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal