
“Penemuan data baru dari surat kabar Partungkoan memperkuat posisi Tuan Rondahaim Saragih sebagai aktor strategis dalam perlawanan regional di Sumatera. Perjumpaannya dengan Sisingamangaraja XII bukan sekadar simbolik, tapi mencerminkan jejaring perlawanan antarkerajaan terhadap kolonialisme.”
RI News Portal. Simalungun 15 Mei 2025 – Usulan terhadap figur historis lokal sebagai Pahlawan Nasional mencerminkan dinamika rekonstruksi memori kolektif dan penghargaan atas kontribusi tokoh-tokoh daerah dalam perjuangan nasional. Salah satu nama yang kembali mencuat dari Sumatera Utara adalah Tuan Rondahaim Saragih, pemimpin karismatik dari Simalungun yang memimpin perlawanan terhadap kolonial Belanda pada paruh kedua abad ke-19. Artikel ini mengulas proses pengusulan, basis historis perjuangan Rondahaim, serta tantangan dan signifikansinya dalam historiografi perjuangan nasional.
Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Provinsi Sumatera Utara kembali mengusulkan Tuan Rondahaim Saragih sebagai Calon Pahlawan Nasional. Keputusan ini diumumkan dalam rapat resmi yang diselenggarakan di Aula Dinas Sosial Sumatera Utara pada Kamis, 13 Maret 2025. Wakil Ketua TP2GD sekaligus Kepala Dinas Sosial Sumut, Dr. H. Asren Nasution, MA, menyampaikan bahwa seluruh anggota tim telah mencapai konsensus untuk mengusulkan kembali nama Rondahaim, setelah sebelumnya mendapat rekomendasi dari Gubernur Sumut pada 2022 dan kini diperkuat dengan rekomendasi Gubernur Boby Afif Nasution.

“Keputusan akhir tetap berada di tangan Dewan Gelar Nasional,” ujar Asren, sembari menegaskan pentingnya mengangkat kembali kontribusi tokoh-tokoh lokal yang selama ini belum mendapat tempat dalam sejarah nasional.
Tuan Rondahaim Saragih merupakan salah satu pemimpin yang terlibat aktif dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di kawasan Simalungun. Ia bukan hanya seorang pemimpin politik dan militer, tetapi juga tokoh strategis yang membangun jaringan aliansi dengan kerajaan-kerajaan di kawasan Tapanuli dan Sumatera Timur, termasuk dengan Sisingamangaraja XII.
Menurut sejarawan Prof. Ichwan Azhari, MPhil, bukti baru dari surat kabar Partungkoan terbitan Tapanuli menunjukkan bahwa Rondahaim pernah bertemu langsung dengan Sisingamangaraja XII untuk menyusun strategi gerilya melawan Belanda. Fakta ini memperkuat narasi tentang posisi Rondahaim dalam jaringan perlawanan antarkerajaan di Sumatera yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam wacana historiografi nasional.
Dr. Eddy Syofian, M.AP, dari Dewan Harian Daerah 45 Sumut, menyoroti integritas dan visi keindonesiaan yang dimiliki Rondahaim jauh sebelum munculnya gerakan Kebangkitan Nasional tahun 1908. Ia menolak tawaran Belanda untuk menjadi raja boneka dan memilih jalur perjuangan meskipun dengan risiko tinggi.
Baca juga : Polres Wonogiri Ungkapan Kasus Pengedaran Uang Palsu di Terminal Ngadirojo
“Beliau adalah pemimpin yang tidak pernah berkompromi dengan kolonial, bahkan hingga akhir hayatnya wilayah kekuasaannya tetap tidak dapat ditaklukkan,” tegas Eddy.
Eddy juga menggambarkan Rondahaim sebagai sosok egaliter dan dekat dengan rakyat. “Meskipun seorang raja, Rondahaim tidak hidup dalam kemewahan atau menjauh dari rakyat. Prinsip hidupnya sangat berorientasi pada kesejahteraan dan martabat rakyat.”
Pengusulan ini juga disertai argumentasi historis yang menempatkan perjuangan Rondahaim dalam konteks nasional. Periode perlawanan yang dipimpin Rondahaim—yakni sekitar 1850–1890—beririsan dengan masa perjuangan tokoh-tokoh nasional seperti Pangeran Diponegoro di Jawa dan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat. Hal ini disampaikan oleh H. Henry Saragih dan Warisman Sinaga, pihak keluarga dan pengusung utama gelar pahlawan bagi Rondahaim.
“Ketika banyak kerajaan di Sumatera Timur jatuh ke tangan kolonial, Rondahaim justru aktif membangun aliansi militer dan diplomatik agar ekspansi kolonial tidak meluas ke wilayah Batak dan Simalungun,” terang Henry.
Aliansi strategis dan konsistensi dalam perang gerilya menjadikan perlawanan Rondahaim sebagai model perjuangan daerah yang memiliki dampak struktural dalam memperlambat dan membatasi hegemoni kolonial Belanda di wilayah timur laut Sumatera.
Pengusulan Rondahaim Saragih mengangkat pertanyaan penting dalam diskursus sejarah nasional: sejauh mana sejarah lokal diberi ruang dalam narasi besar perjuangan Indonesia? Penetapan gelar Pahlawan Nasional tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga representatif atas rekonstruksi memori kolektif bangsa.
Seperti yang ditegaskan oleh TP2GD, saat ini Sumatera Utara memiliki 12 tokoh yang telah diakui sebagai Pahlawan Nasional. Penambahan nama Tuan Rondahaim Saragih tidak semata-mata penambahan kuantitatif, melainkan penyempurnaan narasi sejarah perjuangan yang lebih inklusif dan representatif terhadap realitas geopolitik Nusantara dalam periode kolonial.
Usulan kembali terhadap Tuan Rondahaim Saragih sebagai Pahlawan Nasional mencerminkan semangat untuk merehabilitasi dan mengangkat sejarah perlawanan lokal yang selama ini kurang terwakili dalam narasi nasional. Bukti sejarah, karakter perjuangan antikolonial yang konsisten, serta aliansi strategis yang dibangun dengan tokoh-tokoh besar seperti Sisingamangaraja XII, menjadi dasar kuat bagi pengakuan negara atas jasa-jasanya. Keputusan Dewan Gelar Nasional dalam waktu mendatang akan menjadi penentu apakah sejarah nasional kita semakin inklusif terhadap kekayaan memori perjuangan dari berbagai daerah.
Kata Kunci: Tuan Rondahaim Saragih, Pahlawan Nasional, sejarah lokal, perlawanan kolonial, TP2GD Sumut, Sisingamangaraja XII, historiografi Indonesia.
Pewarta : Jhon Sinaga

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal