
“Pidana mati adalah bentuk penghukuman yang ekstrem dan hanya layak dijatuhkan ketika kejahatan yang dilakukan pelaku mengancam secara serius tatanan moral dan hukum dalam masyarakat.”
— Prof. Dr. Andi Hamzah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti
RI News Portal. Wonogiri, 08 Mei 2025 – Vonis mati yang dijatuhkan kepada terdakwa Sarmo oleh Pengadilan Negeri Wonogiri dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Sunaryo dan tiga korban lainnya membuka diskursus penting dalam ranah hukum pidana, kriminologi, dan etika peradilan. Artikel ini mengulas dinamika putusan tersebut, termasuk fakta hukum, konstruksi dakwaan, pertimbangan majelis hakim, serta implikasi sosial dan normatif dari hukuman mati dalam konteks keadilan pidana di Indonesia.
Perkara pidana No. 8/Pid.B/2025/PN Wng yang menjatuhkan vonis mati terhadap Sarmo, seorang warga Girimarto, Wonogiri, atas serangkaian pembunuhan berencana, menjadi perhatian nasional. Kasus ini tidak hanya menyangkut aspek legal formal, tetapi juga menantang integritas sistem peradilan pidana dalam menangani kasus kejahatan berat secara manusiawi dan adil.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Wonogiri, Selasa (6/5/2025), Majelis Hakim yang diketuai Agusty Hady Widarto dan beranggotakan Donny serta Vilaningrum Wibawani menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa Sarmo. Vonis ini didasarkan pada bukti bahwa terdakwa secara sengaja dan terencana membunuh korban Sunaryo alias Kiyek dengan menggunakan racun potasium sianida. Perbuatan itu dilakukan pada 27 April 2022, di dalam kendaraan pribadi milik terdakwa, dan jasad korban dikubur secara ilegal di pekarangan milik Sarmo di Desa Semagar, Girimarto.
Dalam pertimbangan hakim, disebutkan pula bahwa terdakwa telah melakukan pembunuhan terhadap tiga korban lainnya: Katiyani, Agung Santoso, dan Sudimo, di tempat dan waktu yang berbeda, serta dengan motif yang bervariasi. Hal ini memperkuat unsur berantai dan berulang dalam tindakan kriminal yang dilakukan terdakwa, memperkuat konstruksi dakwaan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Baca juga : Dugaan Malpraktik Demokrasi dalam Pembentukan Koperasi Merah Putih di Pekon Gedung Surian, Lampung Barat
Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Sarmo menunjukkan pemberlakuan maksimal dari sanksi pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia. Pasal 340 KUHP memungkinkan pemberian pidana mati terhadap pelaku pembunuhan berencana yang terbukti dengan alat bukti sah. Berdasarkan prinsip in dubio pro reo dan asas proporsionalitas, majelis hakim memiliki ruang diskresi, namun dalam kasus ini, fakta pembunuhan yang berulang dan brutal dinilai cukup untuk menjustifikasi vonis maksimal.
Dakwaan dan putusan juga memperlihatkan pemenuhan asas legalitas dan pembuktian materiel, terutama penggunaan keterangan saksi, hasil autopsi, dan pengakuan terdakwa. Keberadaan unsur niat (mens rea) dan perencanaan jelas tergambar dari kronologi tindakan, termasuk penyusunan racun, lokasi pembunuhan, dan upaya menghilangkan jejak.
Fenomena pembunuhan berantai oleh Sarmo menimbulkan kebutuhan untuk meninjau ulang pendekatan preventif dan psikososial terhadap potensi pelaku kejahatan berat. Motif ekonomi, seperti dalam kasus Sunaryo terkait gadai mobil, menunjukkan bahwa faktor struktural dan psikologis dapat memicu perilaku ekstrem. Tindakan pembakaran dan pembongkaran kubur juga memperlihatkan indikasi kepribadian antisosial yang perlu dipertimbangkan dalam evaluasi risiko ulang dan rehabilitasi (jika ada).
Vonis mati Sarmo memunculkan respons emosional dari keluarga korban, termasuk upaya fisik yang harus diredam oleh petugas keamanan. Reaksi ini mencerminkan ekspektasi keadilan retributif dari masyarakat. Namun, secara etika, pemberian hukuman mati tetap menjadi polemik, mengingat Indonesia belum sepenuhnya menghapus hukuman tersebut meski telah meratifikasi beberapa instrumen hak asasi manusia.
Penasihat hukum terdakwa, Wahyu Utomo, menyatakan kemungkinan banding, yang membuka ruang bagi uji ulang atas aspek formil dan materiil dari putusan ini. Di titik ini, prinsip fair trial dan hak atas pembelaan tetap dijamin oleh KUHAP, meski opini publik cenderung mengarah pada penerimaan putusan.
Putusan hukuman mati terhadap Sarmo adalah manifestasi keras dari sistem peradilan pidana Indonesia terhadap kejahatan berat dan berulang. Namun, putusan ini juga menjadi momentum reflektif bagi pengembangan pendekatan hukum yang tidak hanya represif, tetapi juga preventif dan rehabilitatif. Kajian lebih lanjut diperlukan untuk menimbang efektivitas pidana mati dalam mengurangi kejahatan dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dalam sistem hukum nasional.
Pewarta : Nandar Suyadi
Jurnal Hukum dan Kriminologi Indonesia, RI News Portal

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal