
RI News Portal. Pemalang 26 Juni 2025 — Aktivitas pertambangan tanpa izin atau dikenal sebagai Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang berlangsung di Jl. Sambeng, Dukuh Lumpa, Kalitorong, Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang, bukan hanya sebuah pelanggaran administratif biasa. Ini adalah tindakan kriminal yang secara terang-terangan menistakan supremasi hukum, mencederai keadilan lingkungan, serta menggambarkan pembangkangan vulgar terhadap otoritas negara dan hukum yang sah.
Selama beberapa tahun terakhir, lokasi tersebut menjadi saksi bisu dari operasi tambang yang diduga kuat tidak memiliki legalitas operasional. Ironisnya, plang informasi yang terpajang menyebutkan izin pengambilan material sirtu (pasir dan batu), namun kenyataan di lapangan menunjukkan eksploitasi padas urug—jenis material yang berbeda dan memiliki dampak ekologis yang lebih luas. Fakta ini menegaskan adanya dugaan manipulasi informasi dan pengaburan izin yang patut dikategorikan sebagai fraud administratif dan pelanggaran berat terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam praktik hukum pertambangan, Pasal 35 dan Pasal 158 UU Minerba secara tegas menyatakan bahwa setiap aktivitas pertambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah tindakan pidana. Pelaku dapat diancam dengan pidana penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp100 miliar. Sayangnya, ancaman hukum ini tampaknya tidak cukup untuk menghentikan keberanian para pelaku yang secara demonstratif melakukan pelanggaran hukum di ruang terbuka.

Lebih lanjut, lokasi penambangan ini juga tidak dapat menunjukkan satu pun dokumen resmi, seperti:
- AMDAL Lalin (Analisis Dampak Lalu Lintas),
- SK dari DLHK Provinsi Jawa Tengah,
- Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB) dari Dinas ESDM,
- ITR dari DISTARU,
- hingga SK Tekno-Ekonomi sebagai dasar kelayakan teknis dan ekonomis.
Ketiadaan dokumen-dokumen ini merupakan bukti nyata bahwa kegiatan tersebut adalah praktik ilegal total yang seharusnya segera disegel dan diproses secara hukum.
Kondisi di lokasi mengarah pada tragedi ekologis yang sistemik. Lalu lalang truk dengan muatan berlebih telah merusak jalan pemukiman, mengakibatkan debu pekat yang menggantung di udara. Ini adalah bentuk pencemaran udara kronis yang tidak hanya mengganggu kenyamanan warga tetapi juga berpotensi memicu penyakit saluran pernapasan seperti ISPA, terutama pada anak-anak dan lansia.
Penambangan ilegal seperti ini dapat menyebabkan:
- Erosi tanah dan degradasi lanskap,
- Pencemaran air akibat lumpur dan residu bahan tambang,
- Kehilangan vegetasi alami dan habitat fauna lokal,
- Serta potensi tanah longsor akibat hilangnya kestabilan tanah.
Situasi ini merupakan pelanggaran nyata terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengharuskan setiap usaha yang berisiko terhadap lingkungan untuk melalui prosedur perizinan berbasis kajian ilmiah.
Baca juga : Mutasi dan Purna Tugas Perwira Tinggi Polri: Dinamika Kelembagaan dan Regenerasi Kepemimpinan
Dari aspek ketenagakerjaan, para pekerja di lokasi tersebut sebagian besar tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sebagaimana diatur dalam peraturan K3. Tidak ditemukan safety suit, coverall, maupun wearpack yang memadai. Ini bukan hanya soal pelanggaran norma, tetapi merupakan bentuk eksploitasi tenaga kerja dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konteks dunia kerja.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri, setiap pengusaha wajib menyediakan dan memastikan penggunaan APD yang sesuai dengan potensi bahaya kerja. Ketidakpatuhan terhadap aturan ini dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana sesuai ketentuan perundang-undangan.
Tak kalah serius, fakta bahwa alat berat di lokasi tambang menggunakan solar bersubsidi—yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi sektor UMKM, pertanian, dan nelayan—menunjukkan adanya indikasi penyalahgunaan bahan bakar subsidi. Penggunaan solar subsidi oleh kegiatan tambang ilegal merupakan pelanggaran terhadap kebijakan energi nasional dan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, terutama Pasal 55 dan 53.

Lebih parahnya lagi, solar tersebut diduga didapat dari hasil pengambilan oleh warga sipil dari berbagai SPBU di Pemalang, sebuah skema distribusi yang mengarah pada shadow economy yang merugikan negara dari sisi fiskal dan distribusi energi.
Penambangan ilegal seperti yang terjadi di Randudongkal bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah bentuk kejahatan lingkungan, pembangkangan terhadap hukum, dan eksploitasi sumber daya negara secara ilegal. Aparat penegak hukum, baik dari unsur kepolisian, kejaksaan, hingga Dinas ESDM dan DLHK, wajib melakukan:
- Penyegelan lokasi tambang,
- Penyelidikan menyeluruh terhadap pengelola dan pemodal,
- Audit lingkungan, serta
- Penuntutan pidana secara maksimal.
Tak hanya itu, pengusutan juga harus diperluas pada rantai distribusi BBM subsidi, alur keuangan tambang, dan kemungkinan adanya oknum yang membekingi kegiatan ilegal ini.
Jika praktik seperti ini dibiarkan, maka negara bukan hanya akan kehilangan potensi pemasukan triliunan rupiah, tetapi juga kehilangan legitimasi moral dan hukum di hadapan rakyatnya. Penambangan liar adalah kejahatan multidimensional—lingkungan, hukum, ekonomi, sosial, dan politik—yang harus dihentikan secara sistematis dan tegas. Negara tidak boleh kalah.
Pewarta : DD ( red/Team )

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal
#teman, #all, #wartawan, #berita
Salam kebahagian