RI News Portal. Jakarta, 12 Desember 2025 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan pendekatan selektif dalam memilih mitra asing untuk proyek pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), dengan prioritas utama pada efisiensi konstruksi, daya saing investasi, dan kapasitas produksi listrik. Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyatakan bahwa evaluasi akan mencakup analisis mendalam terhadap biaya pembangunan, tingkat efisiensi operasional, serta output energi yang dihasilkan, guna memastikan harga pokok penyediaan (HPP) listrik yang dibeli oleh PT PLN (Persero) tetap kompetitif di pasar domestik.
Pernyataan ini muncul pasca-komitmen Presiden Rusia Vladimir Putin untuk mendukung pengembangan PLTN Indonesia, yang disampaikan dalam pertemuan bilateral dengan Presiden RI Prabowo Subianto di Istana Kremlin, Moskow, pada 10 Desember 2025. Putin menawarkan bantuan spesialis Rusia, menyoroti prospek kerja sama energi nuklir sipil sebagai bagian dari hubungan strategis kedua negara yang telah berusia 75 tahun. “Kami memiliki prospek yang sangat baik di bidang energi, termasuk tenaga nuklir. Jika diperlukan, spesialis kami siap terlibat,” ujar Putin, sebagaimana dikutip dari transkrip resmi pertemuan.
Yuliot menjelaskan bahwa tawaran serupa telah diterima dari Kanada dan Korea Selatan, yang turut menyampaikan minat melalui proposal formal. Proses seleksi, kata dia, akan berbasis pada tiga pilar utama: besaran investasi awal, efisiensi teknologi dalam hal konsumsi bahan bakar dan pemeliharaan, serta output listrik per unit kapasitas. “Harapan kami adalah PLTN dapat menekan HPP secara signifikan, sehingga mendukung ketahanan energi nasional tanpa membebani konsumen,” tambahnya dalam wawancara di kantor kementerian pada Jumat.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya mengungkapkan bahwa roadmap pengembangan PLTN telah dirancang hingga 2034, dengan target awal 500 MW. Rinciannya, 250 MW dialokasikan untuk wilayah Sumatera dan sisanya untuk Kalimantan, memanfaatkan teknologi small modular reactor (SMR) yang lebih fleksibel untuk kondisi geografis kepulauan Indonesia. Teknologi SMR dipilih karena modularitasnya memungkinkan konstruksi bertahap, pengurangan risiko, dan adaptasi terhadap kebutuhan beban listrik regional yang bervariasi.
Dari perspektif akademis, pendekatan ini mencerminkan prinsip ekonomi energi berkelanjutan. Studi dari International Atomic Energy Agency (IAEA) menunjukkan bahwa SMR dapat mencapai levelized cost of energy (LCOE) di bawah US$80 per MWh pada skala komersial, lebih rendah dibandingkan reaktor konvensional besar yang sering melebihi US$100 per MWh. Efisiensi ini timbul dari desain pabrikasi off-site dan siklus operasional lebih panjang, meski tantangan tetap ada pada regulasi keselamatan dan pengelolaan limbah radioaktif. Di Indonesia, integrasi SMR dengan jaringan PLN berpotensi menurunkan ketergantungan pada pembangkit berbasis fosil, yang saat ini mendominasi bauran energi nasional dengan porsi di atas 60%.
Penjajakan dengan Korea Selatan, meski menawarkan teknologi skala besar, menyoroti kontras dengan preferensi SMR. Sementara itu, Kanada dan Rusia telah mengajukan opsi yang lebih selaras, meskipun evaluasi independen diperlukan untuk memverifikasi klaim efisiensi. Proses ini juga akan mempertimbangkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) minimal 40%, guna mendorong transfer teknologi dan penguatan industri lokal.
Dalam konteks transisi energi global, inisiatif Indonesia selaras dengan target Net Zero Emission 2060, di mana nuklir diproyeksikan berkontribusi hingga 5-10% dari total kapasitas terpasang pada 2040. Namun, keberhasilan bergantung pada transparansi seleksi mitra, yang diharapkan menghindari risiko geopolitik dan memastikan manfaat ekonomi jangka panjang. Pemerintah tengah menyusun kerangka regulasi melalui Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO) untuk mengawasi tahap ini, menandai langkah strategis menuju diversifikasi sumber energi yang aman dan berkelanjutan.
Pewarta : Setiawan Wibisono

