RI News Portal. Jakarta Selatan – Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Lemdiklat Polri kembali menggelar Dialog Literasi Kebangsaan (DILIBAS) Episode 2 bertajuk “Standar Etika Moral Menuju Transformasi Birokrasi Polri” di Auditorium Mutiara, Selasa (25/11/2025). Acara ini menjadi ruang kritis bagi kalangan akademisi, praktisi hukum, dan generasi muda untuk membedah fondasi etis yang diperlukan agar reformasi Polri tidak sekadar berhenti pada perubahan struktur, tetapi menjangkar pada perubahan karakter institusi.
Dalam sambutannya, Ketua STIK Lemdiklat Polri Irjen Pol Dr. Eko Rudi Sudarto, S.I.K., M.Si., menggarisbawahi bahwa transformasi yang hanya menyentuh aspek teknis dan organisasional akan rapuh tanpa pondasi moral yang kuat. “Kita tidak boleh puas dengan perbaikan prosedural. Transformasi sejati lahir dari keberanian moral setiap pimpinan dan anggota untuk mengoreksi diri sendiri sebelum mengoreksi orang lain,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa keteladanan merupakan bahasa universal yang paling dipahami masyarakat ketika menilai kredibilitas kepolisian.
Hadir sebagai narasumber, Wakil Menteri Hukum dan HAM Prof. Edward Omar Sharif Hiariej menyinggung fenomena solidaritas korps yang kerap disalahartikan. “Prinsip ‘to serve and to protect’ bukan slogan kosong. Solidaritas internal harus menjadi penguat profesionalitas, bukan perisai bagi pelanggaran etika dan hukum,” tegasnya. Pernyataan tersebut langsung memicu diskusi panas, terutama ketika mahasiswa mempertanyakan bagaimana mekanisme internal Polri dapat menjamin akuntabilitas tanpa terjebak pada budaya impunitas.

Para akademisi seperti Prof. Yudi Latif dan Prof. Koentjoro menyoroti hilangnya “moralitas publik” dalam tubuh kepolisian akibat pengaruh politik praktis dan disrupsi digital. Prof. Paulus Wirutomo menambahkan bahwa di era keterbukaan informasi, legitimasi Polri tidak lagi ditentukan oleh narasi resmi, melainkan oleh konsistensi perilaku di lapangan yang terekam dan viral dalam hitungan menit.
Diskusi semakin menghangat saat sesi tanya jawab. Sejumlah mahasiswa STIK dan perguruan tinggi lain di Jakarta secara terbuka mempertanyakan rendahnya tingkat kepercayaan publik, lambatnya penindakan terhadap pelanggaran berat oleh oknum, hingga efektivitas penerapan community policing di tengah maraknya polarisasi sosial. Beberapa pertanyaan bersifat tajam, bahkan memaksa narasumber untuk mengakui bahwa masih ada “pekerjaan rumah besar” yang belum tuntas sejak era reformasi 1998.
Dr. Sarah Nuraini Siregar dan Dr. Phil. Panji Anugrah Permana menekankan perlunya kurikulum pendidikan kepolisian yang tidak hanya berorientasi teknis-operasional, tetapi juga membangun kesadaran filosofis dan sosiologis. “Kita sedang mendidik calon pemimpin negara penegak hukum, bukan sekadar petugas lapangan. Oleh karena itu, mata kuliah etika, filsafat hukum, dan antropologi kekuasaan harus menjadi tulang punggung,” ujar Panji.
Baca juga : Longsor Akibat Hujan Deras Lumpuhkan Akses Jalan di Angkola Selatan, Tapanuli Selatan
Melalui penyelenggaraan DILIBAS kali ini, STIK Lemdiklat Polri ingin menegaskan bahwa transformasi menuju Polri Presisi tidak cukup diukur dari indikator kinerja semata, tetapi juga dari seberapa jauh institusi ini mampu merebut kembali kepercayaan moral di mata publik—khususnya generasi muda yang akan menjadi penentu arah Indonesia Emas 2045.
Acara yang berlangsung hampir empat jam ini ditutup dengan komitmen bersama untuk melanjutkan dialog serupa secara berkala, dengan harapan diskursus etika kepolisian tidak lagi menjadi wacana elitis, melainkan menjadi bagian dari kesadaran kolektif institusi.
Pewarta: Nandang Bramantyo

