RI News Portal. Wonogiri, 31 Agustus 2025 – Lapangan bola voli di Dusun Jati, Desa Tanggulangin, Kecamatan Jatisrono, Wonogiri, yang biasanya ramai dengan aktivitas olahraga warga, kini bertransformasi menjadi arena megah yang memadukan harmoni antara tradisi dan kreativitas kontemporer. Acara Srawung Budaya Desa 2025, yang baru saja dibuka akhir pekan ini, bukan sekadar pesta rakyat, melainkan manifesto hidup dari komitmen pemuda setempat dalam menjaga akar budaya Jawa sambil merangsang ekonomi kreatif berbasis UMKM dan warisan lokal.
Pembukaan acara diawali dengan ritual kenduri tradisional Jawa, disertai doa bersama kepada Yang Maha Kuasa, menciptakan suasana sakral yang mengingatkan pada nilai-nilai leluhur. Inisiatif ini, yang digagas oleh pemuda Dusun Jati, menjadi bukti konkret bagaimana generasi muda mampu menjawab tantangan erosi budaya akibat arus modernisasi. Di tengah gempuran digital dan gaya hidup urban, Srawung Budaya Desa muncul sebagai ikon yang menginspirasi, mengajak kaum muda untuk kembali menyentuh insting kearifan lokal yang hampir pudar.

Kehadiran Kepala Desa Tanggulangin, Marsih, serta perwakilan dari berbagai komunitas pelestari seni budaya se-Solo Raya, menambah bobot acara ini. Mereka memenuhi undangan panitia, menunjukkan solidaritas lintas wilayah dalam upaya pelestarian. “Ini bukan hanya perayaan, tapi tuntunan bagi generasi yang hampir kehilangan jati diri,” ujar salah seorang peserta dari komunitas seni Solo, yang enggan disebut namanya, saat ditemui di lokasi.
Di balik kesuksesan ini, sosok Hendro Dwi Raharjo menonjol sebagai penggerak utama. Sebagai pelestari budaya sekaligus kreator seni tradisi, Hendro berani tampil di garis depan, menggugah masyarakat untuk berpegang teguh pada nilai-nilai Jawa. “Kami menggelar Srawung Budaya Desa berkat dukungan teman-teman secara swadaya, sesuai makna swadesi yang menekankan kemandirian dan gotong royong,” katanya dalam pidato pembukaan.
Baca juga : Dugaan Penganiayaan Anak di Tapanuli Selatan: Konflik Remaja dan Kegagalan Pengawasan Sekolah
Hendro bukan hanya orator, tapi juga inovator. Ia berhasil menciptakan seni tari Barong Abang, yang lahir dari insting kreatifnya sendiri. Tarian ini menggunakan peraga berbentuk kepala burung, dibuat dari bahan bambu alami, dan telah diakui secara resmi oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Wonogiri. “Tari Barong Abang merepresentasikan semangat desa kami, dengan makna yang selaras antara nama dan bentuknya—simbol ketangguhan alam dan budaya,” jelas Hendro. Kreasi ini menjadi satu-satunya tarian asli Desa Tanggulangin yang terdaftar, menandai tonggak baru dalam pelestarian seni lokal.
Acara tidak berhenti di situ. Berbagai penampilan seni tari memeriahkan panggung, termasuk dari Sanggar Etnika Wanagiri di bawah bimbingan Uci Rahayu. Mereka menyuguhkan gerak tari yang memukau, menggabungkan elemen tradisi dengan nuansa modern. Tak ketinggalan, Sanggar Song Meri dari Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, yang dipimpin oleh kreator Aminudin, ikut ambil bagian sebagai penutup rangkaian peringatan HUT RI ke-80.
Aminudin, dalam wawancaranya, menjelaskan filosofi di balik Tari Thethek Melek: “Tarian ini lahir dari narasi dongeng para sesepuh Pacitan, yang menceritakan cara menghalau wabah atau pagebluk di desa. Kami menggunakan alat pertanian, kentongan, dan tunas kelapa sebagai peraga, dengan banyak penari yang melambangkan kesatuan masyarakat.” Penampilan ini tidak hanya menghibur, tapi juga menyiratkan pesan resiliensi budaya di tengah krisis, relevan dengan konteks pasca-pandemi global.
Mengusung tema “Srawung Budaya Desa Indonesia”, acara ini digelar di lahan kosong yang bersebelahan dengan lapangan bola voli, menutup perayaan kemerdekaan dengan cara yang unik. Tema tersebut bukan slogan kosong, melainkan panggilan untuk menghargai warisan Desa Tanggulangin yang semakin terlupakan—dari ritual harian hingga makna filosofis kearifan lokal. Modernisasi, yang sering dilihat sebagai ancaman, justru dijadikan peluang untuk inovasi, seperti integrasi UMKM budaya dalam acara.
Lebih dari sekadar hiburan, Srawung Budaya Desa menjadi katalisator partisipasi masyarakat. Diharapkan, warga tidak hanya menjadi penonton, tapi aktor utama dalam menjaga leluhur. Sinergi antara tradisi dan ekonomi kreatif ini membuka jalan bagi kemajuan bersama, di mana pelaku usaha lokal seperti pengrajin bambu atau penjual makanan tradisional mendapat sorotan. Di era di mana budaya sering terpinggirkan oleh tren global, inisiatif seperti ini mengingatkan bahwa akar lokal adalah fondasi kuat untuk masa depan.
Acara ini, yang berlangsung hingga akhir pekan, diharapkan menjadi model bagi desa-desa lain di Indonesia. Dengan swadaya penuh, pemuda Dusun Jati membuktikan bahwa pelestarian budaya bukan beban, melainkan investasi berkelanjutan. Bagi yang ingin merasakan langsung, lokasi terbuka untuk umum, mengajak semua pihak untuk “srawung”—berinteraksi dan menghidupkan kembali jiwa desa.
Pewarta : Nandar Suyadi

