RI News Portal. Jakarta, 6 November 2025 – Kasus dugaan pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025 semakin mengungkap lapisan-lapisan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan pejabat tinggi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) diduga memanfaatkan dana hasil pemerasan untuk membiayai perjalanan pribadi ke berbagai negara, termasuk Inggris dan Brasil. Pengakuan ini tidak hanya menyoroti pola korupsi yang sistematis, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendalam tentang akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah di tengah tuntutan reformasi birokrasi nasional.
Dalam pernyataan resminya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Rabu (5/11), Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa salah satu pola penggunaan dana ilegal tersebut adalah untuk kegiatan perjalanan luar negeri. “Salah satu kegiatannya itu adalah pergi lawatan ke luar negeri. Salah satunya ke Inggris, kemudian ada juga ke Brasil, dan yang rencananya yang terakhir ini mau ke Malaysia, seperti itu,” ungkap Asep, yang menekankan bahwa rencana perjalanan ke Malaysia akhirnya batal karena AW lebih dulu ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Asep lebih lanjut menguraikan mekanisme pengumpulan dana tersebut, yang diduga dikendalikan oleh Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M. Nursalam (DAN). Menurutnya, dana hasil pemerasan dikumpulkan terlebih dahulu oleh DAN sebelum dialokasikan untuk keperluan tertentu. “Uang itu dikumpulkan di saudara DAN. Jadi, kalau ada perlu kegiatan apa, maka DAN inilah yang nanti menyiapkan. Salah satunya yang kami monitor itu adalah untuk perjalanan ke London, kemudian ke Brasil,” tambah Asep. Pengakuan ini mengindikasikan adanya jaringan internal yang terstruktur untuk menyembunyikan aliran dana ilegal, di mana DAN berperan sebagai koordinator utama.

Kasus ini berawal dari OTT KPK pada 3 November 2025, yang menjerat AW beserta delapan orang lainnya. Operasi tersebut dilakukan di wilayah Riau dan sekitarnya, menggagalkan upaya pemerasan yang diduga menargetkan proyek-proyek infrastruktur dan pengadaan barang/jasa di provinsi tersebut. Keesokan harinya, 4 November 2025, DAN secara sukarela menyerahkan diri ke KPK, sebuah langkah yang dianggap sebagai upaya mitigasi hukum awal. Pada hari yang sama, KPK secara resmi menetapkan status tersangka bagi para pelaku pasca-OTT, meskipun detail teknis masih dirahasiakan untuk menjaga proses penyelidikan.
Puncaknya, pada 5 November 2025, KPK mengumumkan penetapan tersangka secara terbuka terhadap AW, Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Riau M. Arief Setiawan (MAS), serta DAN. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi berupa pemerasan yang merugikan keuangan negara. Meskipun nilai kerugian negara belum diungkap secara rinci, sumber KPK menyebutkan bahwa pola pemerasan ini melibatkan “persentase” dari kontrak proyek, yang kemudian dialihkan untuk kepentingan pribadi pejabat.
Dari perspektif akademis, kasus ini mencerminkan fenomena “state capture” yang sering dibahas dalam studi korupsi di negara berkembang, di mana elite politik mendominasi proses pengambilan keputusan untuk keuntungan pribadi. Peneliti dari lembaga kajian tata kelola pemerintahan di Indonesia, seperti yang tercermin dalam laporan tahunan tentang indeks persepsi korupsi, menyoroti bahwa provinsi-provinsi kaya sumber daya alam seperti Riau rentan terhadap praktik semacam ini karena ketergantungan pada pendapatan ekstraktif. Sebuah studi komparatif yang diterbitkan dalam jurnal administrasi publik tahun lalu menunjukkan bahwa 70 persen kasus korupsi daerah di Indonesia melibatkan manipulasi anggaran perjalanan dinas, yang sering kali menjadi “pintu masuk” untuk pencucian uang ilegal. Dalam konteks ini, perjalanan AW ke Inggris dan Brasil bukan sekadar liburan, melainkan potensi instrumen untuk legitimasi politik sekaligus penyamaran aliran dana haram.
Lebih jauh, kasus Riau ini menggarisbawahi urgensi reformasi struktural di tingkat provinsi. Analisis dari pakar hukum pidana menyatakan bahwa ketidakjelasan regulasi tentang pengawasan perjalanan pejabat luar negeri—yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Perjalanan Dinas—telah menjadi celah eksploitatif. “Korupsi pemerasan seperti ini bukan hanya soal uang, tapi erosi kepercayaan publik terhadap demokrasi desentralisasi,” kata seorang dosen ilmu politik dari universitas negeri di Jawa Tengah, yang meneliti kasus serupa di Sumatera. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa anggaran perjalanan dinas provinsi Riau melonjak 25 persen pada 2024, sebuah tren yang kini terbukti mencurigakan.
KPK sendiri menegaskan komitmennya untuk mengungkap jaringan lebih luas. “Kami akan terus menelusuri aliran dana ini, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak swasta,” tegas Asep. Sementara itu, masyarakat sipil di Riau telah menggelar aksi damai menuntut transparansi, menandakan bahwa kasus ini bisa menjadi katalisator perubahan. Dengan proses hukum yang kini memasuki tahap penyidikan mendalam, publik menanti apakah penanganan kasus ini akan menjadi preseden bagi pemberantasan korupsi yang lebih tegas, atau sekadar babak baru dalam siklus impunitas di negeri ini.
Pewarta : Albertus Parikesit

