
RI News Portal. Wonogiri, Polemik yang mencuat dari proses pencalonan kepala daerah dalam Pilkada Wonogiri 2024 kembali memantik sorotan publik. Kali ini, sorotan tajam datang dari Sekretaris Jenderal Lembaga Justice Enforcement Association (JEA), Nandang Bramantyo, yang menyampaikan keprihatinannya terhadap dinamika politik yang dinilai sarat dengan praktik transaksional dan kepentingan pribadi elite partai.
Dalam keterangannya, Nandang menyoroti secara khusus peran seorang oknum Ketua Partai Gerindra, Suryo Suminto, yang disebut telah mengalihkan dukungan politik secara sepihak dalam proses penjajakan pencalonan kepala daerah. Menurut Nandang, hal tersebut tidak hanya menunjukkan kegagalan dalam kepemimpinan politik, tetapi juga mencederai prinsip etika dan moral dalam berpolitik.

“Pemimpin partai adalah barometer moral politik. Jika ketua partai sendiri mengkhianati komitmen dan memanfaatkan jabatannya demi kepentingan pribadi, maka jelas ini menjadi preseden buruk bagi kader dan bagi publik secara luas,” ujar Nandang dalam pernyataan resminya.
Dugaan Transaksi Politik: Dana Komitmen Tak Dikembalikan Sepenuhnya
Peristiwa yang menjadi sorotan ini bermula dari proses koalisi politik antara Partai Gerindra dan seorang bakal calon bupati, Haji Tarso. Dalam proses tersebut, disebutkan bahwa telah terjadi penyerahan dana komitmen kolaborasi politik sebesar Rp 500 juta. Namun dalam perjalanannya, dukungan dari Ketua Partai Gerindra justru dialihkan kepada pasangan calon lain, diduga karena pertimbangan relasi keluarga—di mana menantu Suryo Suminto bergabung dengan kubu calon petahana, Setyo Sukarno.
Lebih mengejutkan, dari total dana yang telah diserahkan, hanya Rp 300 juta yang dikembalikan. Sisanya, senilai Rp 200 juta, tidak dikembalikan tanpa ada kejelasan hingga kini.
Baca juga : Pemkot Tangsel Menjajaki Soal Pengelolaan Sampah dengan DKI dan Pandeglang
“Ini bukan hanya pelanggaran etika, tapi juga berpotensi sebagai pelanggaran hukum. Bila praktik semacam ini dibiarkan, demokrasi lokal akan selalu berada dalam bayang-bayang barter kepentingan dan pembajakan sistem,” jelas Nandang.
Dampak Sosial dan Hukum: Erosi Kepercayaan Publik dan Ancaman Stabilitas Demokrasi Lokal
Pengamat politik lokal dan akademisi menilai bahwa dampak dari peristiwa ini sangat luas. Bukan hanya merugikan secara finansial salah satu calon, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
“Ketika elite politik memainkan pencalonan kepala daerah sebagai transaksi bisnis, maka nilai-nilai demokrasi substantif ikut tenggelam. Yang tersisa hanyalah prosedur kosong tanpa integritas,” ujar seorang dosen hukum tata negara di Solo yang enggan disebut namanya.

“Menurut pengamat, tindakan seperti ini membuka ruang gugatan perdata atas wanprestasi politik, meski realisasi hukumnya sering terkendala karena lemahnya mekanisme formal dan keberanian pelapor.”
Secara hukum, meskipun perjanjian politik kerap tidak dituangkan secara tertulis dan sulit dibawa ke ranah pidana, terdapat ruang hukum perdata jika dapat dibuktikan adanya wanprestasi. Namun dalam praktiknya, ketakutan akan tekanan politik dan lemahnya perlindungan terhadap pelapor membuat mekanisme hukum sering tidak digunakan.
Desakan Reformasi dan Etika Politik Baru
Lembaga Justice Enforcement Association (JEA) menyerukan agar partai-partai politik melakukan introspeksi mendalam dan membenahi sistem internal mereka, termasuk menegakkan kode etik dan memperkuat mekanisme kolektif dalam pengambilan keputusan pencalonan.
Nandang juga menekankan pentingnya peran pengawasan dari Bawaslu dan KPU terhadap proses pencalonan sejak tahap awal, termasuk terhadap indikasi politik uang dan penyimpangan prosedural oleh elite partai.
“Retorika Pilkada boleh selesai, tapi beban pelanggaran dan dampaknya masih berlangsung. Ini bukan hanya soal uang Rp 200 juta yang hilang, tapi soal nilai dan kepercayaan publik yang jauh lebih mahal,” pungkas Nandang.
“Lembaga Justice Enforcement Association menyerukan pembenahan menyeluruh pada sistem pencalonan partai, serta penegakan etika dan pengawasan sejak awal proses Pilkada. Demokrasi lokal tidak boleh dikorbankan demi kepentingan sesaat.”
Jalan Panjang Demokrasi Lokal
Pilkada seharusnya menjadi momen perayaan rasionalitas politik rakyat. Namun ketika prosesnya dibajak oleh kepentingan sempit, demokrasi tidak hanya cacat secara prosedural, tetapi juga kehilangan rohnya. Peristiwa di Wonogiri ini menjadi cermin bahwa demokrasi lokal di Indonesia masih membutuhkan reformasi mendalam—bukan hanya dalam hukum, tetapi juga dalam budaya dan etika politik.
Pewarta : Virly S

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal