RI News Portal. Purworejo, Gemolong, Sragen 25 September 2025 – Di tengah hiruk-pikuk program nasional revitalisasi pendidikan yang digulirkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, sebuah inisiatif lokal di Kabupaten Sragen muncul sebagai kisah inspiratif yang tak hanya memenuhi target pusat, tapi juga merevolusi pendekatan pemerintah daerah dalam membangun ekosistem belajar yang manusiawi. Proyek pembangunan dan renovasi ruang kelas di SD Negeri Purworejo 2, Kecamatan Gemolong, dengan anggaran Rp976.200.000, bukan sekadar proyek infrastruktur.
Ia menjadi manifestasi komitmen kepala sekolah, Nor Rubiatun, untuk menjadikan kenyamanan sebagai pondasi utama peningkatan mutu pendidikan—sebuah kajian mendalam yang menyoroti bagaimana program pemerintah daerah bisa melampaui sekadar relokasi fisik menuju transformasi holistik.
Nor Rubiatun, kepala sekolah yang dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang visioner, menegaskan bahwa inisiatif ini lahir dari pengamatan langsung terhadap kebutuhan siswa dan guru. “Kami tidak hanya membangun dinding, tapi menciptakan ruang yang merangkul jiwa belajar. Di era di mana anak-anak kita dikelilingi distraksi digital, kenyamanan fisik menjadi senjata utama untuk menjaga fokus dan kreativitas,” ujarnya dalam wawancara eksklusif dengan tim redaksi kami di lokasi proyek, Rabu (24/9).

Komitmen ini sejalan dengan cita-cita pemerintah pusat yang menargetkan percepatan relokasi dan revitalisasi 10.000 satuan pendidikan nasional tahun ini, namun Sragen memilih jalur yang lebih kontekstual: mengintegrasikan dana daerah untuk menyesuaikan desain ruang dengan iklim tropis Jawa Tengah, seperti ventilasi alami dan pencahayaan hijau yang mengurangi ketergantungan listrik hingga 30%.
Dari perspektif kajian program pemerintah daerah, proyek SDN Purworejo 2 Gemolong merepresentasikan model hybrid yang inovatif, di mana alokasi dana dari Pemerintah Daerah Pembangunan Satuan Pendidikan Kabupaten Sragen tidak hanya berfungsi sebagai pelaksana teknis, tapi juga sebagai katalisator partisipasi masyarakat. Berbeda dengan pendekatan top-down yang sering diterapkan di daerah lain—seperti proyek serupa di Jawa Barat yang lebih fokus pada efisiensi biaya semata—inisiatif Sragen menekankan kolaborasi multi-stakeholder. Guru, orang tua, dan kontraktor lokal dilibatkan sejak tahap perencanaan, menghasilkan desain ruang kelas yang dilengkapi elemen ergonomis: kursi anti-panas dari bahan daur ulang, dinding akustik untuk mengurangi kebisingan, serta zona hijau mini untuk kegiatan belajar luar ruang.
“Ini bukan renovasi biasa; ini kajian lapangan tentang bagaimana arsitektur memengaruhi kognisi anak. Studi internal kami menunjukkan peningkatan konsentrasi siswa hingga 25% pasca-renovasi serupa di sekolah pilot,” tambah Rubiatun, merujuk pada data awal dari tim pengawas proyek.
Inisiatif ini dapat dikaji melalui lensa teori pendidikan progresif John Dewey, yang menekankan lingkungan belajar sebagai ekstensi dari pengalaman siswa. Di Sragen, program daerah ini melampaui APBN 2025 dengan menyuntikkan elemen lokal: bahan bangunan seperti bambu dan kayu jati dari hutan rakyat setempat, yang tidak hanya ramah lingkungan tapi juga mendukung ekonomi desa. Alokasi Rp976.200.000 tersebut difokuskan pada tiga pilar utama—struktur tahan gempa, fasilitas inklusif untuk siswa berkebutuhan khusus, dan integrasi teknologi sederhana seperti proyektor solar—sehingga menciptakan ruang yang tak hanya nyaman, tapi juga adaptif terhadap tantangan pasca-pandemi.
Baca juga : Jafar/Felisha Tersisih di Babak 16 Besar Korea Open 2025: Pelajaran dari Tiga Kekalahan Beruntun
Kajian ini menyoroti kebanggaan Pemerintah Daerah Sragen, yang melalui Bupati Sigit Pamungkas, telah mengalokasikan tambahan 15% dari APBD 2025 untuk replikasi model ini di 20 sekolah lain di kabupaten.
Proyek SDN Purworejo 2 Gemolong, yang ditargetkan 100 hari kalender rampung akhir Oktober mendatang, kini menjadi sorotan nasional sebagai “mentor” bagi daerah-daerah lain. Saat pemerintah pusat mendorong revitalisasi melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Sragen membuktikan bahwa inovasi daerah bisa menjadi katalisator perubahan.
“Kami bangga ini menjadi tonggak, tapi yang lebih penting adalah dampaknya: anak-anak kami belajar dengan hati yang tenang,” pungkas Rubiatun. Di balik bata dan semen yang sedang dibangun, ada visi yang lebih besar—pendidikan sebagai hak, bukan sekadar fasilitas. Bagi daerah lain yang masih bergulat dengan anggaran terbatas, kisah Purworejo ini menjadi blueprint: kenyamanan bukan kemewahan, tapi investasi masa depan.
Pewarta : Danang

