RI News Portal. Jakarta, 16 Desember 2025 – Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah melakukan mobilisasi sumber daya nasional secara intensif untuk menangani dampak bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera, yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Langkah ini tidak hanya mencerminkan komitmen terhadap perlindungan warga negara, tetapi juga menegaskan kemampuan Indonesia sebagai negara berdaulat dalam mengelola krisis internal tanpa bergantung pada intervensi eksternal.
Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, dalam pernyataannya pada Selasa (16/12), menekankan bahwa pengerahan sumber daya secara besar-besaran ini merupakan manifestasi dari kekuatan institusional negara. “Ini menunjukkan kapasitas Indonesia sebagai negara yang tangguh dan mandiri dalam menghadapi tantangan bencana,” ujarnya. Pernyataan tersebut merujuk pada arahan langsung Presiden Prabowo yang disampaikan dalam Sidang Kabinet Paripurna pada Senin (15/12) di Istana Negara.
Dalam sidang tersebut, Presiden Prabowo menguraikan tujuh prioritas utama dalam strategi penanganan. Pertama, fokus pada pembangunan hunian bagi korban terdampak, dengan dimulainya konstruksi 2.000 unit rumah sejak akhir pekan lalu, yang direncanakan sebagai hunian sementara sekaligus transisi menuju hunian tetap. Kedua, alokasi anggaran melalui APBN untuk mendukung upaya pemulihan jangka panjang. Ketiga, penyaluran dana operasional langsung ke pemerintah daerah, termasuk Rp20 miliar untuk setiap gubernur provinsi terdampak dan Rp4 miliar untuk masing-masing dari 52 kabupaten/kota yang teridentifikasi, dengan distribusi yang telah tuntas dalam waktu tiga hari pasca-instruksi presiden.

Keempat, pengiriman lebih dari 1.000 unit alat berat, termasuk ekskavator, truk pengangkut, serta tangki air bersih dan minum, yang telah mulai beroperasi sejak Minggu (15/12). Kelima, pembangunan 50 jembatan portable jenis Bailey, di mana tujuh unit telah selesai dan berfungsi untuk memulihkan konektivitas infrastruktur kritis. Keenam, pengerahan 50.000 personel dari TNI dan Polri untuk mendukung evakuasi, pengamanan, dan bantuan langsung kepada pengungsi. Ketujuh, penggunaan 50 helikopter serta pesawat angkut untuk distribusi logistik udara, mengatasi hambatan akses darat di wilayah terisolasi.
Pendekatan ini mencerminkan paradigma penanganan bencana yang berorientasi pada kemandirian nasional, di mana negara memanfaatkan aset internal untuk merespons krisis yang dipicu oleh faktor hidrometeorologi ekstrem. Analisis akademis terhadap respons semacam ini sering menyoroti bagaimana mobilisasi militer dan sipil terkoordinasi dapat mempercepat fase tanggap darurat, sekaligus membangun resiliensi masyarakat pascabencana. Dalam konteks ini, penolakan terhadap penetapan status darurat nasional formal menandakan keyakinan pemerintah bahwa mekanisme existing sudah cukup efektif untuk mengendalikan situasi di tiga provinsi tersebut.
Baca juga : Transformasi Modus Prostitusi Terselubung di Wilayah Perbatasan Kalimantan Timur
Meskipun skala dampak signifikan, dengan ribuan jiwa terdampak dan kerusakan infrastruktur luas, strategi ini diharapkan dapat mempercepat transisi ke fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Pembentukan satuan tugas khusus untuk pemulihan jangka panjang sedang direncanakan, guna memastikan pemulihan yang berkelanjutan dan berbasis mitigasi risiko di masa depan.
Respons pemerintah ini tidak hanya menjadi studi kasus tentang manajemen krisis di negara berkembang, tetapi juga pengingat akan pentingnya kesiapsiagaan nasional dalam menghadapi ancaman iklim yang semakin intens.
Pewarta : Yudha Purnama

