RI News Portal. Jakarta, 15 Desember 2025 – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melaporkan rencana pengerahan besar-besaran tenaga medis ke wilayah bencana di Aceh dan Sumatra, sebagai upaya darurat untuk mengatasi kekurangan layanan kesehatan di tengah lonjakan pengungsi. Dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Senin ini, Menkes mengungkapkan bahwa 600 tenaga kesehatan sudah diberangkatkan dalam batch pertama, sementara 450 orang lagi siap dikirim minggu ini, tergantung persetujuan Presiden untuk upacara flag-off.
Tim medis ini terdiri dari dokter umum, spesialis, koasisten, dan perawat yang direkrut secara nasional. “Kami buka rekrutmen terbuka untuk organisasi profesi, fakultas kedokteran seperti UGM dan UI, serta kelompok relawan dari Muhammadiyah dan NU,” jelas Budi, menekankan kolaborasi lintas lembaga untuk mengisi kekosongan akibat banyaknya nakes lokal yang ikut terdampak bencana. Presiden pun menimpali dengan pertanyaan sederhana: “Mereka berasal dari mana saja?” Jawaban Menkes langsung menggambarkan semangat gotong royong nasional yang menjadi pondasi respons ini.
Pengerahan ini merupakan tindak lanjut langsung dari arahan Presiden dalam rapat koordinasi di Aceh pada 7 Desember lalu, di mana prioritas utama adalah menjaga kestabilan layanan kesehatan bagi ribuan pengungsi. Tim akan bertugas selama tiga bulan penuh, dengan penempatan awal di rumah sakit darurat, puskesmas, dan posko lapangan selama dua minggu pertama. Untuk mencegah kelelahan—sebuah risiko tinggi di zona bencana—rotasi setiap dua minggu dirancang sebagai mekanisme pencegahan burnout, memastikan tenaga medis tetap optimal dalam kondisi ekstrem.

Presiden memberikan apresiasi hangat atas inisiatif ini, menyebutnya “luar biasa” dan berterima kasih khusus kepada perguruan tinggi serta organisasi yang mengirimkan relawan sukarela. “Terima kasih juga semua perguruan tinggi yang mengirimkan dokter-dokter dan tenaga kesehatan sukarela,” ujarnya, menandai dukungan penuh dari puncak eksekutif. Jika disetujui, batch kedua akan diangkut menggunakan pesawat Hercules dari Halim, mempercepat distribusi bantuan ke daerah terisolasi.
Langkah ini tidak hanya mengisi celah darurat, tapi juga menyoroti kerentanan sistem kesehatan di wilayah rawan bencana. Pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, Dr. Rina Susanti, yang memantau situasi dari Jakarta, menilai rotasi dua minggu sebagai inovasi cerdas. “Ini mengurangi risiko kelelahan kronis yang sering terabaikan, sekaligus memaksimalkan dampak relawan dari seluruh negeri,” katanya kepada awak media. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, sebelum pengerahan ini, rasio nakes per pengungsi di Aceh hanya 1:500—jauh di bawah standar WHO—sehingga intervensi nasional ini krusial untuk mencegah wabah sekunder seperti infeksi saluran pernapasan atau diare akut.
Di lapangan, relawan pertama yang tiba di Aceh melaporkan kondisi pengungsi yang memprihatinkan: tenda sementara banjir, pasokan air bersih terbatas, dan trauma psikologis merata. Seorang dokter spesialis bedah dari Yogyakarta, yang tergabung dalam tim batch pertama, berbagi pengalaman awal: “Kami bukan hanya menyembuhkan luka fisik, tapi juga membangun harapan di tengah kehancuran.” Pemerintah menargetkan peningkatan cakupan vaksinasi dan skrining penyakit menular dalam minggu-minggu mendatang, dengan anggaran darurat Rp150 miliar dialokasikan untuk logistik medis.
Respons nasional ini menjadi contoh bagaimana krisis bisa memicu solidaritas lintas daerah, tapi juga mengingatkan perlunya reformasi jangka panjang: investasi infrastruktur kesehatan tahan bencana dan pelatihan rutin untuk nakes lokal. Saat batch kedua menanti lampu hijau, harapan tertuju pada stabilitas layanan yang tak tergoyahkan, agar korban bencana tak hanya selamat, tapi pulih sepenuhnya.
Pewarta : Yogi Hilmawan

