RI News Portal. Lebak, 16 November 2025 – Seorang remaja suku Badui Dalam berusia 16 tahun bernama Repan, yang menjadi korban perampasan disertai kekerasan (begalan) di wilayah Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, pada 26 Oktober lalu, telah kembali ke kampung halamannya di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten. Kedatangannya disambut hangat oleh tokoh adat dan masyarakat setempat setelah menempuh perjalanan kaki selama tiga hari dari ibu kota.
Repan, yang sehari-hari berjualan madu keliling untuk mencari nafkah, mengalami luka sabetan senjata tajam di tangan kiri akibat serangan empat pelaku. Uang hasil penjualan sebesar Rp3 juta serta 10 botol madu turut dirampas. Kejadian ini menyoroti kerentanan pedagang keliling dari komunitas adat dalam menghadapi risiko kejahatan urban di luar wilayah tradisional mereka.
Menurut Sekretaris Desa Kanekes, Medi, yang dihubungi di Rangkasbitung pada Minggu (16/11), pemulangan Repan menjadi momen syukur bagi keluarga dan komunitas. “Kami bersyukur korban sudah sehat dan bisa pulang serta berkumpul bersama anggota keluarga,” ujarnya. Medi juga menyampaikan rasa terima kasih kepada warga Jakarta yang segera menolong Repan dan membawanya ke fasilitas medis, serta kepada aparat kepolisian dan pemerintah Provinsi Banten atas dukungan yang diberikan.

Sambutan kedatangan Repan berlangsung di permukiman Badui pada Minggu sore, melibatkan tokoh adat seperti Jaro Tangtu Jaro Adat (Jaro Alis) dan Jaro Oom (Jaro Pemerintahan), orang tua Repan, serta warga dari Badui Dalam dan Badui Luar. Jaro Oom menekankan pentingnya pemulihan korban sambil menyerukan agar pelaku segera menyerahkan diri. “Masalahnya bila belum tertangkap maka tidak bisa segera beres urusannya,” katanya, seraya menambahkan bahwa komunitas adat kini berdoa untuk penangkapan cepat pelaku guna penegakan supremasi hukum.
Dari perspektif akademis, kasus ini mencerminkan interaksi kompleks antara nilai-nilai adat Badui—yang menekankan harmoni dengan alam dan penolakan terhadap modernitas berlebih—dengan tantangan urbanisasi dan kriminalitas di perkotaan. Repan, sebagai generasi muda yang keluar dari enclave tradisional untuk beraktivitas ekonomi, mewakili transisi demografis di kalangan masyarakat adat. Fenomena begal terhadap pedagang keliling juga menyoroti isu keamanan publik di Jakarta, di mana data historis menunjukkan peningkatan kasus serupa di kawasan rawan seperti Rawasari, sering kali melibatkan pelaku berjumlah lebih dari satu orang dan menggunakan senjata tajam.
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Susatyo Purnomo Condro, mengonfirmasi bahwa penyelidikan awal telah mencakup pemeriksaan saksi dan penelusuran bukti di lokasi kejadian. “Pelaku masih dalam pengejaran, dan polisi terus memburu pelaku dengan upaya maksimal. Petugas kepolisian bekerja keras untuk menyelidiki kasus tersebut,” ungkapnya. Upaya ini sejalan dengan prinsip hukum positivis yang menuntut akuntabilitas pelaku untuk mencegah impunitas dan memberikan keadilan restoratif bagi korban.
Baca juga : Iran Peringatkan Krisis Global akibat Eskalasi Militer AS di Amerika Latin
Kasus Repan tidak hanya menjadi narasi pribadi tentang ketangguhan, tetapi juga panggilan untuk dialog lintas budaya antara komunitas adat dan institusi negara. Tokoh adat Badui mengecam aksi kekerasan tersebut sebagai pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan universal, sambil mempertahankan mekanisme internal mereka untuk pemulihan sosial. Di sisi lain, penegakan hukum formal diharapkan dapat memperkuat perlindungan bagi warga adat yang berinteraksi dengan dunia luar, tanpa mengerosi otonomi budaya mereka.
Pemulangan Repan menandai akhir dari episode traumatis, sekaligus awal dari refleksi lebih luas mengenai integrasi ekonomi masyarakat adat dalam konteks nasional yang semakin urban. Komunitas Badui berharap insiden ini menjadi pelajaran bagi generasi muda untuk lebih waspada, sembari mengandalkan doa dan solidaritas adat sebagai benteng utama.
Pewarta : Syahrudin Bhalak

