RI News Portal. Gyeongju, 2 November 2025 – Dalam pidato penutup sesi kedua Pertemuan Para Pemimpin Ekonomi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) ke-32 yang digelar di Lima, Peru, Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung menegaskan bahwa perdamaian di Semenanjung Korea bukan sekadar isu bilateral, melainkan prasyarat esensial bagi konektivitas regional dan inovasi ekonomi di kawasan Asia-Pasifik.
Analisis akademis terhadap pernyataan Lee mengungkap pendekatan yang berbasis pada teori interdependensi kompleks, di mana stabilitas geopolitik menjadi variabel independen yang memengaruhi variabel dependen seperti pertumbuhan ekonomi bersama. “Hanya ketika perdamaian tercapai maka konektivitas kita bisa berkembang lebih jauh, kekuatan inovasi kita dapat terwujud sepenuhnya, dan kemakmuran bersama kita dapat dinikmati oleh semua pihak,” ujar Lee, menggemakan prinsip-prinsip dari doktrin “perdamaian melalui kekuatan” yang telah berevolusi sejak era pasca-Perang Dingin.
Dari perspektif studi keamanan regional, Lee menyoroti bagaimana konfrontasi militer dan proliferasi nuklir di Semenanjung Korea menciptakan efek riak (spillover effect) yang menghambat integrasi ekonomi di Asia Timur Laut. Data historis dari laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa ketegangan geopolitik di wilayah ini telah mengurangi potensi perdagangan intra-regional hingga 15-20 persen dalam dekade terakhir. Presiden Lee berargumen bahwa resolusi damai tidak hanya akan menstabilkan Asia Timur Laut, tetapi juga membuka koridor ekonomi baru di seluruh Asia-Pasifik, selaras dengan model kerja sama win-win yang dipromosikan APEC sejak pendiriannya pada 1989.

Pendekatan Korea Selatan, sebagaimana diuraikan Lee, mengandalkan dialog sebagai mekanisme utama, kontras dengan narasi eskalasi yang sering mendominasi diskursus keamanan. Pemerintah Seoul telah menerapkan serangkaian langkah preventif, termasuk pengurangan latihan militer skala besar dan inisiatif pembangunan kepercayaan dengan Korea Utara, yang dapat dianalisis melalui kerangka teori keamanan kooperatif Robert Axelrod. Janji Lee untuk inisiatif “lebih aktif dan visioner” menandakan potensi shift paradigma dari deterrence ke engagement, meskipun tantangan struktural seperti sanksi internasional tetap menjadi penghalang.
Dalam konteks APEC yang lebih luas, pernyataan ini memperkuat hipotesis bahwa perdamaian Semenanjung Korea berfungsi sebagai public good regional, di mana manfaatnya—seperti peningkatan investasi teknologi dan rantai pasok terintegrasi—akan dirasakan oleh ekonomi-ekonomi besar seperti Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Studi kasus historis, seperti reunifikasi Jerman pasca-1989, menawarkan preseden bahwa de-eskalasi dapat menghasilkan dividend perdamaian hingga 2-3 persen PDB tahunan bagi negara-negara tetangga.
Baca juga : Pemberdayaan Perempuan Petani: Strategi Mikro untuk Ketahanan Pangan Nasional
Secara keseluruhan, pidato Lee di APEC 2025 tidak hanya merefleksikan prioritas nasional Korea Selatan, tetapi juga kontribusi teoritis terhadap debat global tentang bagaimana mengintegrasikan isu keamanan tradisional ke dalam agenda ekonomi multilateral. Langkah selanjutnya akan bergantung pada respons mitra regional, di mana dialog berkelanjutan dapat mentransformasi ancaman menjadi peluang kemakmuran bersama.
Pewarta : Setiawan Wibisono

