
RI News Portal. Yogyakarta, 26 Juli 2025 — Dalam suasana hangat dan penuh nostalgia, Presiden ke-7 Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo, menyampaikan tanggapan terbuka dan bernuansa satir terhadap tuduhan ijazah palsu yang kembali menyeruak ke ruang publik. Pernyataan itu disampaikannya saat menghadiri Reuni ke-45 Angkatan 80 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang digelar di Yogyakarta, Sabtu (26/7).
Dalam sambutannya, Jokowi mengungkapkan keheranannya atas tuduhan yang terus bergulir, meskipun seluruh proses akademiknya ia jalani secara sah dan penuh perjuangan. Dengan gaya khasnya yang lugas namun bersahabat, ia membuka pidato dengan candaan yang menyentil isu yang ditujukan kepadanya:
“Mengenai nostalgia ya, saya lihat senang semuanya. Tapi jangan seneng dulu lho karena ijazah saya masih diragukan,” ucap Jokowi disambut gelak tawa para alumni yang hadir.

Presiden juga secara halus mengingatkan bahwa tuduhan yang dialamatkan kepadanya bukan hanya mencemari nama pribadi, tetapi berpotensi menyeret reputasi institusi dan angkatan secara kolektif. “Hati-hati nanti keputusan di pengadilan. Begitu keputusannya asli, Bapak Ibu boleh senang-senang. Tapi begitu tidak, yang 88 (alumni) juga kena,” ujarnya sambil berkelakar.
Dalam konteks akademik, tuduhan ijazah palsu terhadap seorang kepala negara bukanlah isu ringan. Hal ini menyangkut integritas personal sekaligus kredibilitas institusi pendidikan tinggi. Jokowi menanggapi hal tersebut dengan narasi biografis yang memperkuat legitimasi akademiknya. Ia menjelaskan bahwa selama masa kuliah tidak pernah mengulang mata kuliah—berbeda dengan beberapa rekannya yang ia sebut secara humoris, seperti Jambro Sasongko yang disebutnya kerap mengulang mata kuliah matematika.
Lebih lanjut, Presiden memaparkan bahwa tuduhan publik yang semula berfokus pada ijazah, kini bergeser menjadi persoalan skripsi dan program Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang menurutnya merupakan upaya mencari-cari kesalahan. “Begitu ijazahnya sulit (dibuktikan palsunya), dicari-cari salahnya, belok ke skripsi. Ganti lagi ke KKN. KKN-nya didatangi ke sana,” jelasnya.
Baca juga : Peresmian Gedung Leopold Mandic: Tonggak Strategis Peningkatan Infrastruktur Pendidikan Tinggi di Pontianak
Dalam penjelasannya, Jokowi menyebutkan nama-nama dosen yang membimbing dan mengujinya saat penyusunan skripsi, yaitu Prof. Dr. Ir. Ahmad Sumitro sebagai pembimbing, serta Ranu Gede dan Ir. Sofyan Wasito sebagai penguji. Ia juga secara spesifik mengingat lokasi KKN di Desa Ketoyan, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, dan menyebut beberapa rekan se-KKN lintas fakultas.
Presiden juga membela nama Ir. Kasmujo, yang sempat dipersoalkan publik terkait statusnya sebagai dosen pembimbing. Jokowi menegaskan bahwa Kasmujo tidak hanya membimbingnya selama kuliah, tetapi juga memberikan pendampingan teknis dalam pengelolaan industri kayu miliknya pasca kelulusan. “Sampai kapan pun saya akan menyampaikan, Pak Kasmujo itu dosen pembimbing saya,” tandasnya.
Tanggapan terbuka Jokowi ini menunjukkan strategi komunikasi politik berbasis narasi personal dan humor untuk meredam polemik yang berpotensi memengaruhi persepsi publik menjelang akhir masa jabatannya. Dalam kajian etika komunikasi publik, penggunaan satire dalam merespons tuduhan serius bisa menjadi pedang bermata dua—efektif dalam membangun solidaritas, namun juga berisiko jika tidak dibarengi klarifikasi hukum yang memadai.
Dari sisi hukum, kasus ini sudah melalui proses litigasi, dan Mahkamah memutuskan bahwa ijazah Presiden Jokowi adalah asli. Namun, isu ini kerap dimunculkan kembali dalam konteks politik, yang menunjukkan bagaimana instrumen legal sering tidak cukup dalam membendung persepsi politik yang dibangun melalui opini publik.
Menutup sambutannya, Jokowi menyampaikan bahwa kehadirannya di acara reuni merupakan bentuk tanggung jawab moral dan simbolik. Meskipun dalam kondisi belum sepenuhnya pulih secara fisik, ia memilih hadir untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak lari dari isu. “Ini saya paksakan datang betul. Bayangkan kalau saya enggak datang. Nanti 67 orang ngumpul semuanya, Jokowi di mana? Ramai lagi nanti,” ujarnya disambut tepuk tangan.
Reuni ini menjadi lebih dari sekadar temu kangen alumni. Ia menjadi panggung reflektif yang sarat pesan simbolik: tentang integritas akademik, ketahanan terhadap hoaks, dan pentingnya membumikan kejujuran di tengah pusaran politik pascareformasi. Di tengah era disinformasi, keterbukaan seperti yang ditunjukkan Jokowi patut diapresiasi, meski tetap perlu dikawal oleh proses akademik dan hukum yang objektif dan transparan.
Pewarta : Rendro P
