
RI News Portal. Semarang, 6 Agustus 2025 – Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Tengah berhasil membongkar jaringan pembuat dan pengedar uang palsu lintas daerah yang meresahkan masyarakat. Sebanyak enam tersangka dengan peran berbeda diamankan dalam operasi gabungan di Boyolali, Kudus, Bogor, dan Yogyakarta. Pengungkapan ini menjadi sorotan dalam penegakan hukum terhadap kejahatan terhadap mata uang yang merupakan simbol kedaulatan negara dan stabilitas perekonomian nasional.
Dalam konferensi pers yang digelar Selasa (5/8/2025) di Markas Ditreskrimum Polda Jateng, Direktur Reskrimum Kombes Pol Dwi Subagio menjelaskan bahwa pengungkapan jaringan ini bermula dari laporan masyarakat terkait peredaran uang palsu di Kabupaten Boyolali.
Penyelidikan intensif oleh tim Resmob Ditreskrimum Polda Jateng membuahkan hasil pada 25 Juli 2025. Dua tersangka awal, yakni W (70), warga Boyolali, dan M (50), warga Tangerang, ditangkap di depan sebuah warung makan di Banyudono, Boyolali. Dari tangan mereka disita 410 lembar uang palsu pecahan Rp100.000.

Pengembangan kasus mengarah ke dua tersangka lainnya, BES (54) dari Kudus yang berperan sebagai agen penjual, dan HM (52) dari Bogor yang bertindak sebagai pemodal dan penghubung logistik peralatan percetakan. Penyelidikan lebih lanjut menuntun aparat ke sebuah rumah produksi di Depok, Sleman, Yogyakarta, yang menjadi pusat pencetakan uang palsu.
Di lokasi tersebut, aparat menangkap JIP alias Joko (58), warga Magelang, selaku desainer dan pencetak uang palsu, serta DMR (30), pemilik rumah yang dijadikan tempat produksi. Di lokasi itu pula ditemukan bukti mencengangkan: 500 lembar uang palsu siap edar, 1.800 lembar setengah jadi, 480 lembar yang belum dipotong, serta peralatan lengkap untuk produksi.
Modus sindikat ini melibatkan produksi uang palsu pecahan Rp100.000 yang dijual dengan sistem diskon ekstrem: Rp100 juta uang palsu dihargai hanya Rp30 juta. Menurut Kombes Pol Dwi Subagio, sindikat ini telah beroperasi sejak awal Juni 2025 dan mencetak sekitar 4.000 lembar uang palsu, dengan 150 lembar diduga telah beredar di masyarakat.
Jaringan ini menunjukkan tingkat organisasi yang kompleks, dengan pembagian tugas mulai dari pemodal, produsen, hingga agen distribusi, yang masing-masing tersebar di berbagai provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan uang palsu bukan lagi bersifat individual atau lokal, melainkan terstruktur dan sistematis.
Keenam tersangka dijerat dengan Pasal 244 dan 245 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan dan pengedaran uang, serta Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Ancaman hukuman maksimal mencapai 15 tahun penjara.
Penanganan kasus ini mencerminkan pentingnya sinergi antara aparat penegak hukum dan masyarakat dalam menjaga integritas sistem keuangan negara. Pemalsuan uang tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga dapat menggoyahkan kepercayaan publik terhadap sistem moneter dan perbankan.
Menanggapi kasus ini, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah, Rahmat Dwi Saputra, menyampaikan apresiasi kepada aparat kepolisian atas keberhasilan tersebut. Ia mengimbau masyarakat untuk lebih waspada dan aktif melakukan pengecekan keaslian uang melalui metode 3D: Dilihat, Diraba, dan Diterawang.
“Uang asli memiliki ciri khusus seperti gambar air, benang pengaman, rectoverso, serta tinta OVI (Optical Variable Ink) yang berubah warna. Kami terus berupaya memperkuat literasi masyarakat melalui program Cinta, Bangga, dan Paham Rupiah, termasuk dengan memasukkannya dalam kurikulum sekolah,” tegas Rahmat.
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, menekankan peran aktif masyarakat sebagai kunci dalam pemberantasan kejahatan uang palsu. Ia menghimbau agar masyarakat segera melapor apabila menemukan uang yang mencurigakan.
“Jangan coba-coba membelanjakan uang palsu karena Anda pun bisa dijerat pidana. Melaporkan lebih baik daripada menjadi bagian dari rantai kejahatan,” ungkap Kombes Artanto.
Pengungkapan sindikat uang palsu lintas daerah ini menjadi bukti nyata bahwa kejahatan ekonomi memiliki dimensi sosial dan sistemik yang memerlukan respons hukum yang tegas dan terpadu. Di sisi lain, keberhasilan aparat Polda Jateng juga menunjukkan efektivitas penegakan hukum berbasis pelaporan publik dan penyelidikan profesional.
Diperlukan kolaborasi antara lembaga hukum, institusi keuangan, dan masyarakat sipil untuk mencegah kejahatan serupa di masa depan. Meningkatkan kesadaran publik, memperkuat sistem kontrol, serta memperketat pengawasan terhadap distribusi alat produksi seperti printer dan tinta khusus menjadi agenda krusial dalam menjaga stabilitas keuangan nasional dan martabat mata uang Rupiah.
Pewarta : Nandang Bramantyo
