
RI News Portal. Denpasar, Bali – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar menolak seluruh nota keberatan (eksepsi) yang diajukan terdakwa Roman Nazarenko (42), warga negara Ukraina yang diduga menjadi otak pabrik narkoba di sebuah vila mewah di Desa Tibubeneng, Kuta Utara, Badung. Putusan sela ini dibacakan dalam sidang pada Jumat (18/7/2025), sebagaimana tertuang dalam amar putusan Ketua Majelis Hakim, Eni Martiningrum.
“Menimbang, menyatakan keberatan terdakwa tidak diterima. Memerintahkan sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi,” ujar Majelis Hakim dalam putusannya. Dengan demikian, sidang pokok perkara akan dilanjutkan pada Kamis, 24 Juli 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dalam eksepsi, tim penasihat hukum terdakwa mengajukan tiga pokok keberatan, yakni:
- Kewenangan relatif PN Denpasar: Penasihat hukum berpendapat bahwa locus delicti perkara berada di luar Indonesia, mengingat Roman ditangkap di Thailand dan berdomisili di Ukraina. Mereka meminta agar perkara diperiksa oleh PN Jakarta Selatan sebagai pintu masuk ekstradisi.
- Alat bukti tidak sah: Pembela menilai dakwaan hanya mengandalkan keterangan saksi tanpa dukungan bukti material.
- Dakwaan tidak jelas dan hanya salinan: Disebutkan bahwa surat dakwaan JPU tidak cermat dan menyalin perkara anak buah terdakwa.
Namun, majelis hakim menegaskan bahwa locus delicti berada di Bali karena pabrik narkoba beroperasi di Desa Tibubeneng. Dengan demikian, PN Denpasar memiliki kewenangan absolut dan relatif untuk mengadili. Terkait alat bukti dan isi dakwaan, hakim menilai keberatan tersebut termasuk ranah pembuktian pokok perkara, bukan objek eksepsi.
Humas PN Denpasar, Gde Putra Astawa, menambahkan bahwa dakwaan telah disusun secara lengkap dan jelas. “Hal-hal yang menyangkut benar tidaknya perbuatan pidana harus dibuktikan dalam persidangan. Oleh karena itu, sidang harus dilanjutkan,” tegasnya.
Roman Nazarenko didakwa sebagai pengendali pabrik narkoba yang digerebek Bareskrim Polri pada 2 Mei 2024. Berdasarkan dakwaan JPU Ricarda Arsenius, Roman merekrut dua WNA Ukraina, Ivan dan Mykyta Volovod, serta melibatkan dua pelaku yang masih buron: Oleksii Kolotov sebagai penyandang dana dan Oleg Tkachuk sebagai teknisi hidroponik.
Laboratorium tersebut memproduksi mephedrone dan ganja hidroponik menggunakan peralatan kimia canggih. Sejak akhir 2022, pabrik ini memproduksi sedikitnya 1 kilogram mephedrone dan 4 kilogram ganja, yang dipasarkan melalui aplikasi Telegram dengan akun “HYDRA”. Transaksi dilakukan secara anonim menggunakan cryptocurrency melalui platform Binance.
Saat penggerebekan, polisi menyita 437 gram mephedrone siap edar, hampir 10 kilogram ganja, serta bahan kimia berbahaya seperti bromo, methylamine, dan asam klorida.
Roman melarikan diri ke Thailand sebelum ditangkap oleh otoritas imigrasi Bangkok pada April 2024. Ia diekstradisi ke Indonesia pada Desember 2024 setelah Interpol mengeluarkan red notice.
Atas perbuatannya, Roman dijerat dengan dakwaan kumulatif, yaitu:
- Pasal 113 ayat (2) jo Pasal 132 ayat (1)
- Pasal 114 ayat (2) jo Pasal 132 ayat (1)
- Pasal 111 ayat (2) jo Pasal 132 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman seumur hidup dan denda maksimal Rp10 miliar.
Putusan sela PN Denpasar ini menunjukkan penerapan prinsip kompetensi absolut dan relatif dalam hukum acara pidana, di mana locus delicti menjadi penentu utama yurisdiksi pengadilan. Penolakan eksepsi terdakwa sejalan dengan Pasal 156 KUHAP yang menegaskan bahwa keberatan formil hanya dapat diajukan jika menyangkut kewenangan pengadilan atau kesalahan identitas terdakwa, bukan pembuktian materiil.
Selain itu, kasus ini menegaskan tantangan hukum transnasional dalam kejahatan narkotika, khususnya terkait extradition law, cyber-enabled drug trafficking, dan penggunaan cryptocurrency sebagai media transaksi. Pola kejahatan ini menuntut respons hukum yang mengintegrasikan prinsip kedaulatan teritorial dengan instrumen kerja sama internasional seperti red notice Interpol.
Pewarta : Jhon Sinaga
