
RI News Portal. Lampung Timur, 7 Juli 2025 — Kekosongan jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Lampung Timur akhirnya diisi setelah menuai sorotan publik dan kritik dari berbagai pihak. Bupati Lampung Timur, Ela Siti Nuryamah, menunjuk Inspektur Tarmizi sebagai Pelaksana Tugas (PLT) Sekda. Langkah ini diambil untuk mengatasi kevakuman struktural dan menjamin kesinambungan administratif dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Menanggapi dinamika tersebut, Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) Kabupaten Lampung Timur yang dipimpin oleh Sidik Ali (berg. Suttan Kiyai), didampingi oleh Azohirri dan Suttan Pakau Alam, menyampaikan pandangan kritis terhadap proses pengisian jabatan Sekda. Dalam keterangannya kepada Rinews pada Senin (7/7/2025), MPAL menekankan bahwa pengisian jabatan strategis seperti Sekda harus mengikuti mekanisme resmi sesuai ketentuan perundang-undangan.
“Pengangkatan Sekda bukan sekadar jabatan administratif, tetapi juga kepemimpinan birokrasi tertinggi di daerah. Prosesnya harus diusulkan oleh Bupati, disetujui oleh Gubernur, dan diketahui oleh Kementerian Dalam Negeri. Figur Sekda harus memiliki kapasitas kepemimpinan, pengalaman birokrasi, serta mampu menjembatani semua kepentingan lintas sektor,” ujar Sidik Ali.

Selain pengisian jabatan Sekda, MPAL juga mendesak Bupati Lampung Timur agar segera melakukan penyegaran dalam struktur birokrasi. Penempatan pejabat di lingkungan pemerintah daerah harus mempertimbangkan rekam jejak, bidang keahlian, dan kesesuaian jenjang pendidikan. Penempatan yang tidak tepat disebut berpotensi menurunkan efektivitas kerja dan menghambat kinerja pelayanan publik.
“Jika suatu tugas diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka kehancuran yang akan terjadi,” tegas Sidik Ali mengutip prinsip etika profesional dalam birokrasi.
Lebih lanjut, MPAL menekankan bahwa penempatan pejabat harus bersifat objektif, bebas dari unsur suka atau tidak suka, serta tidak didasarkan pada afiliasi pribadi. Sikap ini dianggap penting untuk menjamin stabilitas pemerintahan dan kualitas layanan publik.
Menyinggung soal evaluasi 100 hari kerja Bupati, MPAL berpandangan bahwa masa 100 hari bukanlah tolok ukur keberhasilan pemerintahan. Masa jabatan kepala daerah adalah lima tahun dan membutuhkan proses evaluasi berkelanjutan berdasarkan indikator pembangunan yang objektif. Kendati demikian, masyarakat tetap didorong untuk aktif memberikan kritik konstruktif sebagai bagian dari partisipasi demokratis.
Baca juga : Koperasi Merah Putih di Wonogiri Mandek: Minim Modal, Aturan Tak Jelas
MPAL juga memberikan sorotan terhadap penataan ruang dan simbol-simbol kebudayaan di wilayah ibu kota kabupaten, Sukadana. Pihaknya mendesak agar pembangunan kota Sukadana diprioritaskan karena merupakan representasi wajah Kabupaten Lampung Timur. MPAL mengusulkan relokasi beberapa ikon dan monumen seperti patung badak, KH Hanapiah, Letnan Aripin, dan Asmaul Husna agar penempatannya mencerminkan makna historis, edukatif, dan religius yang lebih sesuai.
Dalam aspek kebudayaan, MPAL meminta koreksi terhadap bentuk lambang siger yang berada di depan Kantor Kejaksaan Negeri Sukadana. Saat ini lambang tersebut berlekuk tujuh, padahal Kabupaten Lampung Timur masuk dalam Kebuyutan Adat Abung Siwo Migo yang secara simbolik diwakili oleh siger lekuk sembilan. Penyesuaian ini dianggap penting sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan budaya lokal dan identitas masyarakat adat setempat.
Fenomena ini mencerminkan pentingnya tata kelola pemerintahan daerah yang akuntabel, inklusif, dan berakar pada nilai-nilai lokal. Keterlibatan lembaga adat seperti MPAL dalam mengkritisi dan mengawal kebijakan publik menunjukkan peran strategis masyarakat sipil dalam sistem demokrasi. Keseimbangan antara legalitas formal, keadilan sosial, dan simbolisme budaya menjadi kunci dalam pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Pewarta : Lii

