
RI News Portal. Wonogiri 15 Juli 2025 — Pemerintah Kabupaten Wonogiri memilih pendekatan budaya dalam memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia dengan mengganti tradisi karnaval pembangunan menjadi pertunjukan wayang kulit semalam suntuk di 25 kecamatan. Kebijakan ini tidak hanya menjadi respons terhadap kondisi ekonomi masyarakat pascapandemi dan pelemahan daya beli, tetapi juga merupakan langkah konkret pelestarian budaya lokal dan penguatan identitas daerah sebagai kota budaya. Artikel ini menyoroti keputusan kebijakan dari sudut pandang politik budaya, etika anggaran, dan kebijakan kebudayaan lokal.
Dalam menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri mengambil langkah tak biasa: mengganti karnaval pembangunan dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk yang akan digelar serentak di 25 kecamatan. Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Bupati Wonogiri, Setyo Sukarno, sebagai wujud pelestarian budaya dan bagian dari strategi membangun citra Wonogiri sebagai kota budaya.
Setyo Sukarno menyatakan bahwa anggaran yang disiapkan sebesar Rp25 juta per kecamatan akan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Wonogiri. “Kami ingin menunjukkan bahwa inisiatif ini merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, bukan inisiatif yang membebani masyarakat,” tegasnya. Ia juga menekankan bahwa pelaksanaan pertunjukan wayang tersebut akan dilakukan serentak, bukan pada malam tirakatan, melainkan saat malam resepsi kemerdekaan.

Kebijakan ini muncul di tengah absennya karnaval pembangunan yang sebelumnya rutin digelar. Menurut Setyo, penghentian karnaval sejak 2023 dilatarbelakangi pertimbangan ekonomi: “Kami tidak ingin masyarakat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi justru terbebani untuk mengikuti karnaval. Pertunjukan budaya menjadi alternatif yang lebih bijaksana.”
Dari sudut pandang kebijakan publik, keputusan ini mencerminkan respons adaptif pemerintah terhadap situasi sosial ekonomi masyarakat, sembari tetap menjaga semangat peringatan kemerdekaan. Secara kultural, pendekatan ini menjadi sinyal kuat bahwa Pemkab Wonogiri berupaya memperkuat basis budaya lokal dalam konteks pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Lebih lanjut, Pemkab Wonogiri berencana membentuk Dewan Kesenian Daerah, lembaga yang akan berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam merumuskan arah kebijakan seni dan budaya. “Dewan ini nantinya menjadi ruang kolektif untuk pembinaan dan pengembangan kesenian daerah. Tidak hanya wayang, tetapi seluruh kesenian lokal akan dibina dan dikembangkan,” ujar Setyo.
Baca juga : Isu Ijazah Palsu dan Pemakzulan Gibran: Jokowi Duga Ada Agenda Politik Besar di Baliknya
Secara normatif, keputusan untuk mengalokasikan dana publik ke bidang kesenian—terutama melalui pertunjukan tradisional seperti wayang kulit—merupakan bentuk investasi sosial yang sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 32 UUD 1945 tentang pemajuan kebudayaan nasional. Dalam konteks ini, Pemkab Wonogiri menunjukkan pemahaman etis dan konstitusional dalam pengelolaan anggaran berbasis nilai budaya.
Kritik tentu tetap mungkin muncul, utamanya terkait efektivitas program dan kebermanfaatannya bagi generasi muda yang kian tergerus budaya digital. Namun, pendekatan ini dapat dibaca sebagai langkah awal untuk mengintegrasikan budaya tradisional ke dalam ruang publik kontemporer, sekaligus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga warisan budaya di tengah tantangan globalisasi.
Sebagai catatan, pelestarian budaya seperti ini tidak semata urusan artistik, melainkan berkaitan langsung dengan ketahanan identitas lokal dan legitimasi sosial pemerintah daerah. Jika dikawal dengan partisipasi aktif masyarakat dan ekosistem kebudayaan lokal, pertunjukan wayang serentak ini berpotensi menjadi model baru peringatan kemerdekaan berbasis nilai-nilai luhur bangsa.
Pewarta : Nandar Suyadi
