
“Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual harus bersifat cepat, tegas, dan berpihak pada korban. Kepolisian harus menjadi ujung tombak yang tidak hanya menangkap pelaku, tetapi juga melindungi korban dari reviktimisasi.”
RI News Portal. Lampung, 02-Mei-2025 – Penegakan hukum atas tindak pidana seksual terhadap anak menjadi indikator penting dalam pemajuan hak anak di Indonesia. Artikel ini mengulas secara kritis kasus persetubuhan anak di bawah umur yang diungkap Polres Lampung Barat pada Mei 2025, dengan fokus pada dimensi hukum, perlindungan korban, dan respons institusional. Berdasarkan data kronologis dan keterangan resmi, kasus ini menunjukkan pentingnya sinergi antara masyarakat dan aparat dalam menangani kejahatan seksual terhadap anak secara cepat dan akuntabel.
Perlindungan anak dari kekerasan seksual merupakan mandat konstitusional dan yuridis di Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan KUHP menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan dari kejahatan seksual dalam bentuk apapun. Kasus yang terjadi di Lampung Barat pada awal Mei 2025 menjadi contoh konkret bagaimana aparat penegak hukum dan masyarakat merespons tindak pidana seksual terhadap anak di bawah umur.

Menurut informasi yang diterima dari Kepolisian Resor (Polres) Lampung Barat, kasus ini bermula ketika seorang anak perempuan berinisial SA dibawa oleh seorang laki-laki dewasa berinisial AK ke wilayah Bandar Jaya, Lampung Tengah. Dugaan persetubuhan terhadap SA kemudian dilaporkan oleh SE ke pihak kepolisian. Pada 3 Mei 2025, terlapor AK diserahkan oleh masyarakat kepada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Lampung Barat.
Setelah penyerahan, penyidik Satreskrim segera melakukan pemeriksaan terhadap terlapor. Kapolres Lampung Barat AKBP Rinaldo Aser, melalui Kasat Reskrim IPTU Juherdi Sumandi, menyatakan bahwa proses penyidikan akan dilakukan secara serius dan profesional. Kepolisian menegaskan komitmen dalam menindak tegas pelanggaran hukum, terutama yang menyangkut anak sebagai korban.
Dalam perspektif hukum, tindakan AK dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana persetubuhan terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 81 dan/atau Pasal 82 UU Perlindungan Anak, yang memuat ancaman pidana berat. Respon cepat aparat dan partisipasi masyarakat dalam menyerahkan pelaku menunjukkan efektivitas komunikasi hukum di tingkat lokal. Namun, aspek pemulihan psikososial korban dan pelibatan lembaga perlindungan anak perlu dikaji lebih lanjut agar penanganan tidak hanya represif, tetapi juga restoratif.
Kasus ini mencerminkan urgensi perlindungan anak sebagai isu strategis dalam penegakan hukum dan kebijakan sosial. Diperlukan penguatan kapasitas lembaga kepolisian, sinergi dengan lembaga layanan sosial, serta edukasi publik untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak secara holistik dan berkeadilan.
Pewarta : IF

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal