RI News Portal. Padang, Sumatera Barat 10 November 2025 – Praktik perambahan hutan untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit di wilayah Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat, semakin mengkhawatirkan dari perspektif hukum tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam. Berdasarkan peta kawasan hutan skala 1:150.000 yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten setempat, lokasi Kelompok Tani Sepakat Jaya Pinang Sebatang secara geografis berada di Kecamatan Batu Tapan (BAB Tapan). Temuan ini menunjukkan adanya indikasi penyerobotan wilayah adat Tapan yang termasuk dalam kawasan hutan produksi konversi (HPK), sebagaimana diamati pada 9 November 2024.
Analisis hukum terhadap kasus ini mengungkap modus operandi jual beli lahan hutan belantara seluas total 584 hektare, yang diduga melibatkan figur otoritas adat dan administratif lokal. Transaksi tersebut difasilitasi melalui Surat Keterangan (SK) dari Kerapatan Adat Nagari (KAN), yang secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Pasal 12 UU tersebut secara tegas melarang konversi kawasan hutan tanpa izin resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sementara SK KAN hanya bersifat pengakuan adat internal dan tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengalihfungsikan status hutan negara.

Daftar yang teridentifikasi sebagai penjual lahan mencakup individu dengan hubungan kekerabatan dekat dengan Wali Nagari Pondok Parian Lunang, antara lain:
- Mulyadi (Wali Nagari Pondok Parian Lunang) dengan luas 34 hektare melalui 2 SK KAN.
- Zairi (adik Wali Nagari) dengan 20 hektare melalui 1 SK KAN.
- Zainul Wadis, S.Pd., dengan 62 hektare melalui 6 SK KAN.
- Herli Dapitsion dengan 38 hektare melalui 3 SK KAN.
- Jafrisal dengan 20 hektare melalui 2 SK KAN.
- Yanto dengan 86 hektare melalui 7 SK KAN.
- Libes dengan 66 hektare melalui 6 SK KAN.
- Agusli dengan 58 hektare melalui 5 SK KAN.
- Adriadi (adik Wali Nagari) dengan 30 hektare melalui 1 SK KAN.
- Syamsul (orang tua Wali Nagari) dengan 40 hektare melalui 1 SK KAN.
- Edi Efendi dengan 40 hektare melalui 1 SK KAN.
- Suardi dengan 40 hektare melalui 4 SK KAN.
- Zakarya dengan 40 hektare melalui 4 SK KAN.
- Ali Aswadi dengan 10 hektare melalui 1 SK KAN.
Baca juga : Kritik Keras POLA terhadap Pemkot Bitung: PHK Sepihak Masyarakat X CP Multi Rempah Dibiarkan Menganga
Modus ini bermula pada 2016 melalui mediasi Kerapatan Adat Indrapura, di mana lahan diserahkan kepada inisial J sebagai pemilik Kelompok Tani Sepakat Jaya Pinang Sebatang, warga Nagari Muara Sakai, Kecamatan Pancung Soal. Dugaan keterlibatan koordinator Penghulu Suku Tapan (inisial Datuk B) dan Ketua KAN Tapan (inisial A) semakin memperkuat hipotesis kolusi antara elemen adat dan kelompok tani eksternal, yang berpotensi melanggar Pasal 50 ayat (3) UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 jo. UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengharuskan persetujuan masyarakat adat hanya untuk hak pengelolaan, bukan penjualan outright.
Penelusuran lapangan yang dilakukan oleh tim riset independen dari 1 Januari hingga 9 Oktober 2025 mengindikasikan bahwa aktivitas pembukaan lahan oleh kelompok tani tersebut telah meluas hingga ribuan hektare tanpa izin berkebun resmi di kawasan hutan. Hal ini tidak hanya menimbulkan deforestasi primer, tetapi juga memicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla) berulang, yang secara ekologis merusak biodiversitas dan secara administratif merupakan penyerobotan wilayah Tapan. Dampak lingkungan ini selaras dengan temuan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengenai kontribusi deforestasi tropis terhadap emisi karbon global, sementara dari aspek hukum, hal tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan Pasal 98 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ketua KAN Tapan, Agusli, dalam pernyataan di depan Kantor Camat Rahul Tapan—disaksikan perwakilan Datuk Tapan—menegaskan bahwa wilayah adat Tapan telah menyusut akibat klaim pemerintah atas tanah ulayat sebagai kawasan hutan. “Wil and groan,” ujarnya, menyoroti ketidakadilan historis dalam delimitasi batas. Namun, koordinator Penghulu Suku Tapan (inisial B) enggan memberikan respons substantif, sementara pemilik kelompok tani melalui pesan WhatsApp menyatakan, “Apa lagi uda.., tidak puas uda dengan saya,” yang mengindikasikan sikap defensif dan penghindaran konfirmasi.
Dari sudut pandang hukum adat, praktik ini bertabrakan dengan prinsip nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat (Pasal 18B UUD 1945), di mana tanah ulayat tidak boleh dialihkan tanpa musyawarah mufakat dan persetujuan penuh. Kurangnya pengawasan hutan oleh aparat setempat, sebagaimana disinyalir dalam kasus ini, mencerminkan kelemahan institusional yang dapat dieksploitasi untuk keuntungan pribadi, sehingga merekomendasikan intervensi KLHK melalui audit forensik batas kawasan dan penegakan sanksi administratif hingga pidana.
Kasus Tapan ini menjadi preseden krusial bagi kajian hukum lingkungan di Indonesia, menekankan perlunya harmonisasi antara hukum positif negara dan hukum adat dalam pengelolaan HPK. Tanpa reformasi pengawasan dan penegakan hukum yang tegas, ancaman deforestasi untuk komoditas sawit akan terus menggerogoti integritas ekosistem Sumatera Barat.
Pewarta : AP ( Red )

