RI News Portal. Yogyakarta, 14 November 2025 – Kejaksaan Negeri Gunungkidul telah menyelesaikan penyerahan tahap II terhadap dua tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan Dana Desa (DD) di Kalurahan Bohol, Kapanewon Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Proses ini dilaksanakan pada Kamis, 13 November 2025, menandai transisi perkara dari tahap penyidikan ke penuntutan.
Tersangka yang diserahkan adalah MG, yang menjabat sebagai Lurah Bohol, dan KI, yang berperan sebagai Carik Bohol. Bersama mereka, sejumlah barang bukti turut dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejari Gunungkidul. Langkah ini memungkinkan penyusunan berkas dakwaan sebelum perkara dibawa ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Yogyakarta.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Gunungkidul, Surya Hermawan, menguraikan bahwa dugaan penyelewengan terjadi selama periode anggaran 2022 hingga 2024. “Para tersangka diduga menyalahgunakan wewenang dalam alokasi dana desa, yang berakibat pada kerugian finansial bagi negara,” katanya dalam keterangan kepada pers. Ia menekankan bahwa tindakan tersebut melibatkan manipulasi prosedur pengelolaan anggaran yang seharusnya mendukung pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat pedesaan.

Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 serta Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal-pasal ini mengatur sanksi atas perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, dengan ancaman pidana penjara dan denda yang signifikan.
Pasca-penyerahan tahap II, MG dan KI langsung ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIA Wirogunan, Yogyakarta, untuk masa 20 hari, efektif dari 13 November hingga 2 Desember 2025. Penahanan ini bertujuan memastikan kelancaran proses hukum selanjutnya, termasuk penyusunan dakwaan oleh JPU.
Kejari Gunungkidul menyatakan komitmennya untuk menangani kasus semacam ini secara profesional dan transparan. “Penegakan hukum terhadap korupsi dana desa bukan hanya tentang pemulihan kerugian negara, tetapi juga menjaga integritas program pemberdayaan desa yang menjadi andalan pemerintah dalam mengurangi ketimpangan regional,” ujar Surya Hermawan. Ia menambahkan bahwa kasus ini mencerminkan kerentanan sistem pengawasan di tingkat lokal, di mana kewenangan pejabat desa sering kali tidak diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas yang ketat.
Baca juga : Dugaan Pengeroyokan Libatkan Dua Anggota DPRD Bulungan: Korban Alami Luka Berat di Kafe Tanjung Selor
Secara lebih luas, kasus Bohol menyoroti tantangan sistemik dalam pengelolaan Dana Desa, yang sejak diluncurkan pada 2015 telah mengalirkan triliunan rupiah ke ribuan kalurahan di Indonesia. Data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan peningkatan laporan penyimpangan, sering kali akibat kurangnya kapasitas sumber daya manusia dan pengawasan internal. Analis hukum dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Rimawan Pradiptyo, dalam studi sebelumnya menyebut bahwa faktor seperti konflik kepentingan dan minimnya audit berkala menjadi pemicu utama. “Reformasi diperlukan melalui penguatan peran Badan Pengawas Desa dan integrasi teknologi digital untuk transparansi transaksi,” katanya.
Perkara ini diharapkan menjadi preseden bagi penanganan serupa di wilayah lain, sekaligus mendorong evaluasi kebijakan Dana Desa agar lebih adaptif terhadap risiko korupsi. Proses persidangan di Pengadilan Tipikor Yogyakarta akan menjadi ujian bagi efektivitas aparat penegak hukum dalam menjamin keadilan bagi masyarakat Bohol yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama dari dana tersebut.
Pewarta: Nandang Bramantyo

