RI News Portal. Jakarta, 14 September 2025 – Dalam sebuah pengungkapan yang menyoroti kerapuhan sistem pengadaan publik di sektor pendidikan, Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) telah mengonfirmasi pelaksanaan penggeledahan terhadap apartemen milik Nadiem Anwar Makarim (NAM), mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek). Langkah ini diambil menyusul penetapan NAM sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook untuk program digitalisasi pendidikan nasional. Penggeledahan tersebut tidak hanya mengamankan dokumen-dokumen krusial, tetapi juga membuka lapisan baru tentang bagaimana ambisi teknologi pendidikan bisa terjerat dalam jaringan kepentingan pribadi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menyatakan bahwa tim penyidik berhasil menyita sejumlah dokumen dari lokasi tersebut. “Yang jelas terkait dokumen-dokumen saja dulu yang disita,” ujar Anang dalam keterangan resminya di Jakarta pada Sabtu (13/9/2025). Meski demikian, detail operasional penggeledahan masih diselimuti ketidakpastian. Anang mengaku belum memiliki informasi presisi mengenai waktu dan tempat spesifik, hanya memperkirakan bahwa aksi tersebut terjadi sekitar dua hingga tiga minggu lalu di salah satu lokasi. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan tentang koordinasi internal Kejagung, yang seharusnya menjadi pilar transparansi dalam penegakan hukum.
Penetapan NAM sebagai tersangka terjadi pada 4 September 2025, menandai puncak dari investigasi yang telah berlangsung sejak awal tahun. Penyidik Kejagung menduga bahwa NAM terlibat secara langsung sejak tahap awal, termasuk dalam pertemuan dengan perwakilan Google Indonesia terkait adopsi sistem operasi Chrome OS untuk perangkat Chromebook. Program ini, yang dimaksudkan untuk mendukung transformasi digital di sekolah-sekolah Indonesia, kini tercoreng oleh dugaan penyimpangan yang menimbulkan kerugian negara senilai Rp1,98 triliun. Angka ini masih bersifat sementara, menunggu audit resmi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang diharapkan memberikan kejelasan lebih lanjut tentang skala kerusakan finansial.

Dari perspektif hukum, NAM dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan ini menargetkan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, serta keterlibatan dalam persekongkolan jahat. Analisis akademis terhadap kasus ini menggarisbawahi bagaimana regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah, yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018, sering kali gagal mencegah konflik kepentingan di tingkat eksekutif tinggi. Studi dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Indonesia (seperti yang tercermin dalam laporan tahunan mereka) menunjukkan bahwa sektor pendidikan rentan terhadap korupsi karena volume anggaran besar dan ketergantungan pada mitra teknologi asing, di mana transparansi proses tender sering kali dikorbankan demi kecepatan implementasi.
Lebih jauh, kasus ini mengungkap paradoks dalam upaya digitalisasi pendidikan Indonesia. Di satu sisi, program Chromebook dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan akses teknologi di daerah pedesaan, sejalan dengan visi Pendidikan 4.0 yang menekankan integrasi AI dan cloud computing. Namun, dugaan korupsi ini berpotensi menghambat inovasi jangka panjang, seperti yang dibahas dalam jurnal akademis seperti Journal of Education Policy (edisi internasional), di mana korupsi di sektor publik sering kali menghasilkan inefisiensi yang memperlambat adopsi teknologi. Di Indonesia, hal ini bisa memperburuk ketimpangan pendidikan, di mana hanya 60% siswa di luar Jawa memiliki akses internet stabil, berdasarkan data Kementerian Pendidikan terbaru.
Baca juga : Atletico Madrid Bangkit dengan Kemenangan Perdana atas Villarreal di La Liga
Penggeledahan ini juga memicu diskusi etis tentang peran mantan pejabat dalam ekosistem bisnis teknologi. NAM, yang sebelumnya dikenal sebagai pendiri Gojek, membawa pengalaman korporat ke pemerintahan, tapi kasus ini menyoroti risiko “pintu putar” antara sektor swasta dan publik. Para ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada berpendapat bahwa reformasi diperlukan untuk memperkuat deklarasi konflik kepentingan, guna mencegah kasus serupa di masa depan.
Sementara itu, Kejagung terus mengembangkan penyidikan, dengan kemungkinan pemanggilan saksi tambahan dari kalangan industri teknologi. Masyarakat diharapkan tetap waspada, karena kasus ini bukan hanya tentang satu individu, melainkan tentang integritas sistem pendidikan nasional yang sedang bertransisi ke era digital. Pembaruan lebih lanjut akan disampaikan seiring perkembangan investigasi.
Pewarta : Yudha Purnama

