
RI News Portal. Semarang, 16 Oktober 2025 – Insiden penarikan paksa kendaraan bermotor oleh oknum debt collector (DC) yang mengatasnamakan Mandiri Tunas Finance Cabang Semarang kembali menggemparkan warga Kota Semarang. Kejadian ini tidak hanya menimbulkan trauma bagi korban, tapi juga memicu perdebatan nasional tentang penegakan Undang-Undang Jaminan Fidusia pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Berbeda dengan kasus serupa yang sering viral di media sosial, narasi kali ini menyoroti peran advokat dalam memperjuangkan hak debitur melalui jalur hukum formal, sambil mengkritisi budaya “eksekusi liar” yang masih marak di kalangan perusahaan pembiayaan.
Kronologi bermula pada Senin, 13 Oktober 2025, sekitar pukul 10.00 WIB, di Jalan Palebon, Kecamatan Pedurungan, Semarang. Mobil Daihatsu Pick Up bernomor polisi K 8641 CC, yang tercatat atas nama Devy Sistiarini di STNK, sedang dikendarai oleh Bapak Mulyani dan Ibu Tasriah. Kendaraan itu tiba-tiba dicegat secara paksa oleh sebuah Honda Brio yang membawa sekitar tiga orang pria. Tanpa prosedur yang jelas, para oknum ini memaksa korban turun dan merebut kendaraan tersebut, sambil mengklaim berasal dari Mandiri Tunas Finance Cabang Semarang. “Mereka bilang ini prosedur standar untuk tunggakan, tapi kami tidak diberi kesempatan bicara atau tunjukkan bukti pembayaran parsial,” ujar Ibu Tasriah, yang kini terpaksa bergantung pada transportasi umum untuk keperluan sehari-hari.
Keluarga korban, termasuk Andika, segera menghubungi Kantor Hukum PBH Feradi WPI Advokat dan Paralegal DPC Kota Semarang. Tim yang dipimpin Sukindar C.S.H., C.PFW., C.MDF., langsung mendatangi kantor Mandiri Tunas Finance di Jl. Indraprasta No. 30 A. Di sana, Sukindar menyampaikan argumen hukum yang kuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, jo. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Nomor 2/PUU-XIX/2021. Dalam amar putusan MK tersebut, frasa “kekuatan eksekutorial” pada Pasal 15 ayat (2) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai secara ketat: eksekusi fidusia hanya boleh dilakukan jika ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur menyerahkan objek secara sukarela. Jika tidak, proses harus melalui Pengadilan Negeri, setara dengan eksekusi putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

“Penarikan paksa seperti ini berpotensi pidana perampasan dan pengancaman, sesuai Pasal 365 KUHP. Kami bersikeras agar unit dikembalikan dengan itikad baik, atau kami ambil langkah hukum,” tegas Sukindar saat ditemui di kantornya. Tim advokat menunggu respons manajemen, tapi hingga Selasa, 14 Oktober 2025, korban yang kembali ke kantor leasing justru dipersulit. Mereka diminta bayar Rp 13.045.000 sebagai biaya tarik dan administrasi, tanpa rincian jelas. “Biaya itu katanya dari DC eksternal via PT Kawitan Putra Sejahtera, tapi saling lempar tanggung jawab. Kami pulang tanpa unit, hanya janji nunggu konfirmasi pusat,” keluh Bapak Mulyani.
Puncaknya, pada Rabu, 15 Oktober 2025, keluarga datang lagi didampingi Sukindar. Pertemuan dengan pimpinan cabang, termasuk Bapak Oka, menghasilkan kesepakatan koordinasi untuk solusi terbaik. Sukindar kembali menekankan interpretasi MK: tanpa persetujuan sukarela, leasing harus ajukan permohonan eksekusi ke PN Semarang. “Ini bukan soal menolak bayar, tapi prosedur hukum harus dihormati. Kami akan laporkan ke Polrestabes Semarang jika tak ada itikad baik, untuk tindak oknum perampas di Palebon,” tambahnya. Saat ini, keluarga sedang konsultasi untuk laporan pidana, dengan target minggu ini.
Kasus ini bukan yang pertama bagi Mandiri Tunas Finance, anak usaha Bank Mandiri yang fokus pembiayaan kendaraan. Sejak 2021, perusahaan ini kerap dikaitkan dengan keluhan serupa, seperti intimidasi DC di Semarang dan kasus penipuan nasabah di Jawa Barat. Namun, narasi unik di sini adalah intervensi advokat yang menjadikan putusan MK sebagai senjata utama, bukan sekadar viral di TikTok seperti insiden MUF di The Park Mall awal 2025. “Ini pelajaran bagi leasing: jangan anggap debitur lemah. Hukum fidusia pasca-MK lindungi hak asasi, bukan fasilitasi premanisme,” komentar Dr. Rina Wijayanti, pakar hukum perdata dari Universitas Diponegoro, yang memantau kasus ini.
Baca juga : Opini : Pecah Kongsi di Antara Kepala Daerah dan Wakil, Bibit Perpecahan yang Menggerogoti Demokrasi Lokal
Sukindar juga menyampaikan apresiasi kepada media dan wartawan yang mengawal isu ini. “Peran sosial kontrol kalian berarti bagi klien kami. Tanpa liputan, suara korban seperti Mulyani dan Tasriah tenggelam. Ini dorong transparansi di industri leasing,” katanya. Hingga berita ini diturunkan, Mandiri Tunas Finance belum merespons permintaan konfirmasi redaksi. Otoritas seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kepolisian Daerah Jawa Tengah diimbau segera investigasi, mengingat tren penarikan paksa naik 15% di Semarang sepanjang 2025 berdasarkan data internal BPKN.
Kasus ini menggarisbawahi urgensi reformasi di sektor pembiayaan: dari budaya “tarik dulu, urus belakangan” menuju eksekusi berbasis hak asasi. Bagi debitur, pesan Sukindar jelas: jangan diam, cari bantuan hukum sejak dini. Sementara itu, Mulyani dan Tasriah menanti keadilan, sambil berharap pick-up mereka kembali ke halaman rumah tanpa drama jalanan.
Pewarta : Sriyanto
