
RI News Portal. Banda Aceh, 12 Juli 2025 — Pemerintah terus mendorong partisipasi penyandang disabilitas dalam sektor pekerjaan formal melalui kebijakan afirmatif berupa kuota minimal 1 persen dalam penerimaan tenaga kerja. Namun, kebijakan progresif ini dinilai masih menghadapi tantangan serius dari aspek kesiapan sumber daya manusia, khususnya kualitas pendidikan bagi penyandang disabilitas.
Hal ini disampaikan oleh Dr. Rasyidah, M.Ag., Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh dalam Dialog Disabilitas yang diselenggarakan oleh RRI Banda Aceh pada Sabtu (12/7/2025). Ia mengapresiasi arah kebijakan pemerintah sebagai langkah afirmasi yang patut diapresiasi, namun mengingatkan pentingnya fondasi pendidikan yang inklusif dan berkeadilan.
“Kebijakan memberikan kuota 1 persen bagi disabilitas untuk masuk ke sektor formal memang langkah maju, tetapi tetap membutuhkan kesiapan dari aspek kependidikan,” ujarnya.

Dr. Rasyidah menyoroti bahwa akses terhadap pendidikan tinggi belum merata di kalangan penyandang disabilitas. Menurutnya, penyandang disabilitas daksa relatif lebih dapat mengakses pendidikan tinggi karena dukungan fisik dari keluarga. Sebaliknya, penyandang disabilitas netra dan tuli menghadapi hambatan sistemik, seperti keterbatasan fasilitas pendukung, kurangnya pendamping akademik, dan minimnya tenaga pengajar yang terlatih dalam pendekatan inklusif.
Sebagai institusi pendidikan tinggi berbasis keislaman di Aceh, UIN Ar-Raniry telah mulai merintis lingkungan kampus inklusif. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pelatihan bahasa isyarat bagi mahasiswa reguler agar dapat menjadi peer support bagi mahasiswa disabilitas, khususnya mereka yang memilih Prodi Pengembangan Masyarakat Islam.
“Kami sudah melatih beberapa mahasiswa untuk menggunakan bahasa isyarat. Harapannya, mereka bisa menjadi sahabat-sahabat disabilitas, mendampingi mahasiswa baru yang memilih Program Studi PMI,” tambahnya.
Baca juga : Penguatan Layanan Griya Lansia di Karawang: Legislator Jabar Usulkan Penambahan Sarana dan Fasilitas Dasar
Lebih lanjut, Dr. Rasyidah mengemukakan pentingnya praktik baik antarperguruan tinggi sebagai sarana perbaikan bersama. Ia mencontohkan pendekatan inklusif di Universitas Brawijaya Malang, di mana mahasiswa secara bergilir mendampingi mahasiswa disabilitas dalam kegiatan akademik sehari-hari. Model ini, menurutnya, patut dijadikan rujukan dalam membangun ekosistem pendidikan tinggi yang lebih setara, ramah disabilitas, dan memberdayakan.
Dialog ini menegaskan bahwa kebijakan kuota 1 persen bukan sekadar soal angka, melainkan menyangkut kesiapan struktural, kultural, dan pedagogis yang mendalam. Transformasi kebijakan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas tidak bisa dilepaskan dari reformasi pendidikan tinggi yang inklusif dan berkeadilan sosial.
Partisipasi penyandang disabilitas dalam sektor pekerjaan formal tidak bisa hanya didorong melalui pendekatan kuantitatif berupa kuota. Diperlukan pendekatan struktural melalui investasi di sektor pendidikan tinggi inklusif, penguatan kapasitas kelembagaan, serta kolaborasi antarpemangku kepentingan — termasuk lembaga pendidikan, pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan dunia usaha. Kebijakan afirmatif akan lebih berdampak apabila ditopang oleh sistem pendidikan yang mampu mengakomodasi keragaman kebutuhan belajar seluruh kelompok disabilitas.
Pewarta : Jaulim Saran

