
RI News Portal. Sambas 21 Oktober 2025 – Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi pilar utama dalam setiap aktivitas kerja, terutama di sektor konstruksi yang memiliki risiko tinggi. Namun, realitas di lapangan kerap kali menunjukkan gambaran yang berbeda. Kasus tragis kematian seorang pekerja di proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sambas menjadi sorotan terbaru yang menggambarkan kelalaian dalam penerapan standar K3. Insiden ini tidak hanya menimbulkan duka mendalam, tetapi juga memunculkan pertanyaan serius tentang tanggung jawab pihak-pihak terkait dan potensi penyimpangan dalam pengawasan proyek.
Berdasarkan investigasi awal, sejumlah indikator pelanggaran K3 teridentifikasi di lokasi proyek RSUD Sambas. Pertama, ditemukan bahwa Alat Pelindung Diri (APD) seperti helm, sepatu keselamatan, dan pelindung mata tidak digunakan secara konsisten oleh pekerja. Padahal, kewajiban penyediaan dan penggunaan APD diatur ketat dalam standar K3 untuk mencegah kecelakaan kerja. Kedua, tidak adanya bukti bahwa pemeriksaan kesehatan berkala dilakukan terhadap pekerja, yang seharusnya menjadi bagian dari evaluasi kelayakan fisik dan mental untuk bekerja di lingkungan berisiko tinggi.
Selain itu, prosedur dan pelatihan K3 tampaknya tidak diterapkan dengan baik. Tidak ada dokumentasi yang menunjukkan adanya pelatihan memadai bagi pekerja terkait potensi bahaya di lokasi konstruksi, seperti risiko jatuh dari ketinggian atau tertimpa material. Kondisi lingkungan kerja juga dipertanyakan, dengan laporan tentang kurangnya penerangan dan ventilasi yang memadai. Lebih mengkhawatirkan lagi, tidak ditemukan bukti adanya penilaian risiko yang sistematis untuk mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya di tempat kerja.

Kasus di RSUD Sambas menyoroti absennya pengawasan yang efektif. Meskipun telah ditunjuk konsultan pengawas oleh dinas terkait, investigasi di lapangan mengungkapkan bahwa konsultan tersebut tidak berada di lokasi saat insiden terjadi. Bahkan, kepala tukang yang seharusnya bertanggung jawab atas pelaksanaan teknis juga dilaporkan tidak hadir. Ketidakhadiran pihak-pihak kunci ini memperparah situasi dan menunjukkan lemahnya penegakan disiplin K3.
Dari sisi hukum, kelalaian ini dapat dikaitkan dengan Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain dapat dihukum pidana penjara hingga lima tahun atau kurungan selama satu tahun. Dalam konteks proyek konstruksi, tanggung jawab dapat dibebankan kepada kontraktor, konsultan pengawas, dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sesuai ketentuan dalam kontrak. Namun, hingga saat ini, tidak ada pihak yang memberikan keterangan jelas terkait pertanggungjawaban atas insiden tersebut.
Di Indonesia, regulasi K3 masih berpijak pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yang menetapkan sanksi maksimum berupa denda Rp 100.000 atau kurungan tiga bulan—nilai yang jauh dari relevan dengan kondisi ekonomi saat ini. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, pelanggaran K3 dapat dikenakan denda hingga $500.000 untuk perusahaan, sementara di Tiongkok, denda bisa mencapai Rp 41 miliar tergantung pada dampak pelanggaran. Pendekatan administratif lebih sering diterapkan di Indonesia, seperti teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin, sesuai UU No. 13/2013 Pasal 190. Namun, rendahnya sanksi pidana sering kali tidak memberikan efek jera yang memadai.
Baca juga : Apresiasi Tokoh Masyarakat Padangsidimpuan atas Trendum Positif Pemberantasan Narkoba Polda Sumut
Pelanggaran K3 tidak hanya berdampak pada pekerja, seperti kecelakaan fatal atau trauma psikologis, tetapi juga pada perusahaan, mulai dari kerugian finansial hingga penurunan reputasi. Dalam kasus RSUD Sambas, kematian pekerja menjadi bukti nyata dari kegagalan sistemik dalam pengelolaan K3. Lebih lanjut, muncul dugaan adanya upaya untuk meredam pemberitaan. Sumber anonim menyebutkan bahwa sebanyak 12 entitas, termasuk media dan LSM, diduga “diamankan” untuk tidak mempublikasikan informasi terkait insiden ini. Klaim ini, meskipun belum terverifikasi, menimbulkan kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan dan kurangnya transparansi.
Kasus ini menegaskan perlunya reformasi dalam penegakan K3 di Indonesia. Perusahaan dan pihak terkait harus memprioritaskan pelatihan K3, penyediaan APD yang memadai, dan pengawasan ketat di lapangan. Pemerintah juga perlu memperbarui regulasi, termasuk menaikkan sanksi pidana agar lebih relevan dengan dampak pelanggaran. Selain itu, transparansi dalam pelaporan insiden kerja harus ditegakkan untuk memastikan akuntabilitas semua pihak.
Tragedi di RSUD Sambas bukan sekadar statistik, tetapi pengingat bahwa nyawa pekerja bergantung pada komitmen bersama untuk menerapkan standar K3. Tanpa perubahan nyata, risiko serupa akan terus mengintai di proyek-proyek konstruksi di seluruh negeri.
Pewarta : Lisa Susanti
