
“Pemimpin di tingkat paling dasar justru harus menjadi contoh keberadaban demokrasi. Ketika mereka melibatkan diri dalam kekerasan, maka demokrasi itu sendiri yang mereka cederai.”
RI News Portal. Bekasi, 04-Mei-2025. Peristiwa dugaan penganiayaan terhadap Ustaz Habib Abdul Hakim saat menghadiri mediasi warga di Bekasi menunjukkan adanya krisis dalam tata kelola sosial dan kegagalan aktor lokal dalam menyerap dinamika partisipasi warga. Artikel ini mengulas peristiwa tersebut dalam bingkai akademik, dengan pendekatan hukum pidana, etika kepemimpinan lokal, serta pentingnya pelindungan hak konstitusional warga dalam menyampaikan pendapat. Penulis menyoroti bahwa peristiwa ini mencerminkan kekerasan sebagai instrumen represi sosial dan urgensi pembaruan tata kelola warga berbasis hukum dan kesetaraan.

Pada Sabtu malam, 3 Mei 2025, sekitar pukul 20.20 WIB, Ustaz Habib Abdul Hakim hadir di Cluster Evodia, RT 02/RW 13 Perumahan Harapan Mulya, Bekasi, guna memediasi konflik antarwarga terkait pembangunan bangunan tanpa izin. Mediasi tersebut semula bertujuan mencari solusi kolektif, namun berubah menjadi arena ketegangan setelah ketua RT dan RW diduga menolak masukan warga lain.
Suasana semakin memanas, hingga Ustaz Habib, yang datang sebagai penengah, menjadi korban dugaan kekerasan. Ia menyatakan disundul dan kepalanya dibenturkan ke tembok. Akibat luka di bagian wajah, ia dirawat di RS Tarumajaya dan kemudian melaporkan kejadian itu ke Polsek Tarumajaya dengan nomor laporan STPL No. 52/V/2025/Sek.Tj.
Polisi telah memeriksa saksi-saksi, termasuk Teuku Basri yang membenarkan bahwa Ustaz Habib hanya berusaha menenangkan situasi. Proses hukum tengah berjalan, dan gelar perkara dijadwalkan untuk menentukan status hukum pihak terduga pelaku.
Kasus ini mengindikasikan distorsi dalam mekanisme kepemimpinan warga di tingkat rukun tetangga/rukun warga (RT/RW). Secara normatif, struktur ini dibentuk untuk mendorong partisipasi kolektif dan menyelesaikan konflik secara deliberatif. Namun, ketika struktur tersebut berubah menjadi otoritarian dan anti-kritik, muncul represi terhadap warga yang menyampaikan pendapat berbeda.
Dugaan tindakan kekerasan terhadap Ustaz Habib yang datang sebagai penengah memperlihatkan resistensi terhadap pendekatan dialog dan kekacauan etika kepemimpinan. Ini menandakan bahwa norma musyawarah telah dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan lokal, dengan potensi menggerus kepercayaan sosial (social trust).
Secara yuridis, tindakan yang dialami Ustaz Habib memenuhi unsur penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, yang berbunyi:
“Penganiayaan dihukum dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka hukuman dapat diperberat sampai lima tahun.”
Unsur delik yang terpenuhi:
- Adanya perbuatan kekerasan fisik (menyundul dan membenturkan kepala),
- Akibat nyata berupa luka pada wajah korban,
- Niat pelaku yang dapat ditelusuri dari rangkaian tindakan (dolus).
Jika pelaku adalah pejabat RT atau RW, dapat dipertimbangkan pula aspek penyalahgunaan wewenang sosial meskipun secara hukum positif belum diatur secara eksplisit dalam KUHP. Namun, secara moral dan administratif, hal ini dapat menjadi dasar tuntutan etis untuk pengunduran diri atau pencabutan mandat sosial dari warga.
Selain itu, tindakan kekerasan dalam forum publik dapat melanggar prinsip perlindungan kebebasan menyampaikan pendapat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yakni:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Tindakan yang melukai warga yang mengkritik atau menengahi dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sipil tersebut.
Kasus ini harus menjadi pelajaran bagi seluruh pemangku kepentingan di tingkat mikro:
- Penegakan Hukum yang Tegas: Aparat kepolisian harus objektif dan profesional, tanpa intervensi dari aktor lokal yang mungkin memiliki relasi sosial-politik dengan pelaku.
- Peningkatan Etika Kepemimpinan: Pemerintah daerah perlu menerbitkan pedoman etika bagi pengurus RT/RW yang meliputi larangan kekerasan, pengelolaan konflik, dan penerimaan kritik.
- Pemulihan Sosial: Mediasi ulang pasca-konflik dibutuhkan untuk membangun kembali rasa saling percaya di lingkungan tersebut. Tokoh agama dan masyarakat sipil dapat dilibatkan.
- Evaluasi Mekanisme Pemilihan RT/RW: Proses demokratis harus dibarengi dengan seleksi kapasitas kepemimpinan dan rekam jejak moral.
Kasus dugaan penganiayaan terhadap Ustaz Habib Abdul Hakim bukan hanya urusan pelanggaran hukum pidana, tetapi juga manifestasi dari lemahnya kultur demokrasi di tingkat warga. Ketika kritik dibalas dengan kekerasan, maka hukum harus hadir tidak hanya sebagai alat represif, tetapi sebagai pelindung hak dasar dan etika kehidupan bermasyarakat.
Pewarta : Yogi Hilmawan

#rinewsadvertaising, #iklanrinews, #ruangiklan, #terkinirinews,
#beritarinews, #viralrinews, #updaterinews, #inforinews,
#beritarepublikindonesia, #beritaindonesia, #republikindonesianews,
#indonesianews, #republicindonesianews, #republicindonesiannews,
#beritacepat, #beritabaru, #ri_news, #republikindonesiaportal, #pertalberitaindonesia,
#rinewsportal, #republikindonesiaportal, #republicindonesianewsportal, #republicindonesianportal