
RI News Portal. Wonogiri, Jawa Tengah 7 Juli 2025 — Di Dusun Jaten, Desa Tanggulangin, Kecamatan Jatisrono, Wonogiri, berdiri tiga lumpang batu yang memuat kisah mistis sekaligus menjadi identitas kultural warga. Fenomena ini memunculkan narasi lokal yang menautkan sejarah, mitos, dan potensi konflik sosial terkait perebutan nilai sakral maupun ekonomi dari lumpang tersebut.
Berdasarkan penuturan salah seorang warga, Dipan Kromowiyono, ketiga lumpang tersebut diyakini berasal dari seorang pertapa sakti bernama Sapu Arap Sapu Angin. Tokoh ini diceritakan hidup bersama dua putrinya, Marnis dan Marning. Ketiganya dikisahkan menghilang secara misterius tanpa jejak, yang kemudian dipercaya oleh masyarakat sebagai moksa — suatu bentuk lenyapnya raga dan jiwa secara gaib dalam kepercayaan tradisional Jawa.
“Dulu beberapa warga sering melihat tiga orang itu duduk di tiga lumpang yang ditinggalkan,” tutur Dipan kepada RI News.

Keyakinan warga tidak berhenti di sana. Beredar cerita bahwa di bawah ketiga lumpang tersebut tertimbun harta karun berupa emas. Namun, warga enggan mengambilnya karena diyakini akan mendatangkan musibah atau malapetaka.
Kontroversi terjadi pada tahun 2015 ketika sekelompok empat orang, termasuk warga luar daerah, mencoba menggali tanah di bawah salah satu lumpang untuk mengambil harta karun tersebut secara diam-diam. Penggalian ilegal ini dilakukan tanpa izin warga maupun pemerintah desa. Aksi tersebut memicu kemarahan warga yang kemudian menggagalkan upaya tersebut, menangkap para pelaku, dan menyerahkannya ke pihak kepolisian.
Setelah itu, warga meminta pelaku mengembalikan tanah yang digali dan menempatkan lumpang ke posisi semula, menegaskan bahwa lumpang batu itu adalah bagian dari warisan budaya desa yang tidak boleh diusik.
Kepala Desa Tanggulangin, Marsih, mengonfirmasi cerita misterius mengenai satu lumpang yang berada di tengah jalan. Lumpang tersebut disebut telah dicoba dipindahkan beberapa kali saat proses pembangunan aspal jalan. Anehnya, menurut warga, batu berlekuk itu kembali ke posisi semula secara misterius, hingga akhirnya dibiarkan tetap berada di tengah jalan meski menimbulkan kerusakan atau lubang di badan jalan.
“Warga bilang, lumpang itu memang enggak mau dipindahkan dari tempatnya,” ujar Dipan, diamini beberapa warga lain.
Keberadaan lumpang-lumpang batu tersebut kemudian melekat pada nama lokal “Kampung Nglumpang” sebagai penanda identitas budaya. Pantauan RI News Portal menemukan tiga lumpang di sekitar pinggir dan tengah jalan, dengan satu lumpang lain berada di halaman rumah warga yang nyaris tertutup tanah. Sebagai bentuk penghormatan, warga membangun semacam gubug sederhana untuk menaungi salah satu lumpang agar tetap terjaga dari kerusakan.
Dalam perspektif akademis, fenomena lumpang batu Dusun Jaten mencerminkan nilai-nilai living heritage (warisan budaya hidup) yang bercampur dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat. Kisah mistis tentang tokoh Sapu Arap Sapu Angin, keyakinan akan moksa, hingga narasi harta karun berwujud emas adalah contoh folklore yang masih berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial agar situs budaya tidak dieksploitasi secara berlebihan.
Selain itu, sengketa terkait upaya penjarahan lumpang juga menunjukkan adanya kontestasi ruang dan nilai ekonomi yang kerap membayang-bayangi situs-situs budaya di pedesaan. Potensi konflik ini dapat dikaji lebih lanjut dengan pendekatan hukum perlindungan cagar budaya serta pelibatan partisipasi masyarakat dalam menjaga situs-situs lokal bersejarah.
Secara keseluruhan, lumpang batu di Kampung Nglumpang tidak sekadar artefak kuno, tetapi juga penanda identitas kolektif, ruang sakral, dan simbol kontinuitas tradisi desa yang layak mendapatkan perlindungan dan penelitian lanjutan.
Pewarta : Nandar Suyadi

