RI News Portal. Meulaboh, 6 November 2025 – Sebuah insiden ledakan tabung oksigen di sebuah fasilitas pengisian di Desa Gampa, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, tidak hanya menewaskan dua warga, tetapi juga meninggalkan jejak kerusakan struktural yang luas di 15 rumah penduduk setempat. Peristiwa yang terjadi pada Rabu lalu sekitar pukul 11.20 WIB ini menggarisbawahi kerentanan infrastruktur pedesaan terhadap penyimpanan bahan berbahaya, sekaligus memicu diskusi mendalam tentang protokol keselamatan di wilayah rawan bencana seperti Aceh Barat.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Aceh Barat, Teuku Ronal Nehdiansyah, mengonfirmasi bahwa ledakan tersebut menyebabkan variasi kerusakan mulai dari tingkat ringan hingga berat. Dari total 15 rumah yang terdampak, enam di antaranya mengalami kerusakan struktural parah, sementara sembilan lainnya hanya mengalami kerusakan minor. “Kerusakan ini mencakup plafon yang roboh, atap yang bolong, pecahnya kaca jendela, hingga retak pada dinding rumah,” ujar Teuku Ronal dalam pernyataan resminya. Beberapa rumah kini tidak layak huni, memaksa penghuninya mencari tempat tinggal sementara di rumah saudara atau balai desa, di tengah cuaca yang semakin tidak menentu menjelang musim hujan.
Korban jiwa yang dikonfirmasi adalah Ramli, 35 tahun, warga asal Medan, Sumatera Utara, dan M. Rizki, 20 tahun, penduduk asli Desa Padang Mancang, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat. Keduanya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di lokasi kejadian, yang merupakan sebuah gudang pengisian oksigen yang diduga menyimpan tabung-tabung bertekanan tinggi. Tim BPBD masih melakukan proses penanganan di lapangan, termasuk evakuasi puing-puing dan penilaian lebih lanjut terhadap potensi korban luka ringan. Hingga kini, laporan tambahan dari warga terus mengalir, menandakan bahwa dampak ledakan mungkin lebih luas daripada yang awalnya diperkirakan.

Desa Gampa, yang terletak di pesisir barat Pulau Sumatra, merupakan salah satu permukiman pedesaan dengan populasi sekitar 2.000 jiwa, mayoritas bergantung pada perikanan dan perdagangan kecil-kecilan. Fasilitas pengisian oksigen seperti yang terlibat dalam insiden ini sering kali beroperasi secara semi-formal untuk mendukung kebutuhan medis, industri kecil, dan bahkan pertanian hidroponik yang mulai berkembang di kawasan tersebut. Namun, kurangnya regulasi ketat terhadap penyimpanan gas bertekanan tinggi—seperti oksigen yang mudah terbakar jika terpapar panas atau percikan api—telah menjadi isu kronis di daerah pedesaan Indonesia.
Menurut data historis dari Kementerian Kesehatan, insiden ledakan tabung oksigen di tingkat lokal meningkat sebesar 15 persen dalam lima tahun terakhir, terutama pasca-pandemi ketika permintaan oksigen medis melonjak. Di Aceh Barat, yang pernah dilanda tsunami 2004, trauma kolektif terhadap bencana membuat masyarakat lebih peka terhadap kejadian seperti ini. “Ledakan ini bukan hanya soal tabung yang bocor, tapi juga soal bagaimana kita menyimpan ‘kehidupan’ dalam bentuk gas yang bisa berubah menjadi kematian dalam sekejap,” kata seorang warga senior Desa Gampa yang enggan disebut namanya, menggambarkan kekhawatiran kolektif di tengah puing-puing rumahnya yang retak.
Peristiwa ini menawarkan studi kasus berharga tentang interseksi antara keselamatan industri kecil dan resiliensi komunitas pedesaan. Peneliti dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, yang sebelumnya mempelajari pola bencana di Aceh, menyoroti bahwa ledakan oksigen sering kali dipicu oleh faktor manusia, seperti kurangnya ventilasi atau inspeksi rutin. “Dalam konteks pedesaan, di mana akses ke peralatan pemadam kebakaran terbatas, dampaknya bisa berkali lipat,” jelas Dr. Cut Intan, pakar manajemen bencana dari fakultas tersebut, yang menambahkan bahwa model respons berbasis komunitas—seperti pelatihan evakuasi mandiri—dapat mengurangi korban jiwa hingga 30 persen berdasarkan simulasi modelnya.
Baca juga : KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau dalam Penyidikan Pemerasan APBD 2025
Lebih lanjut, insiden ini menggarisbawahi kebutuhan integrasi teknologi sederhana, seperti sensor tekanan otomatis pada tabung oksigen, yang telah terbukti efektif di fasilitas serupa di Jawa Barat. Studi komparatif dari Jurnal Teknik Keselamatan Indonesia menunjukkan bahwa wilayah seperti Aceh Barat, dengan tingkat kepadatan penduduk sedang dan infrastruktur dasar yang rentan, memerlukan kebijakan zonasi penyimpanan bahan berbahaya yang lebih ketat. Tanpa intervensi, peristiwa serupa berpotensi berulang, terutama dengan maraknya usaha pengisian gas untuk mendukung sektor kesehatan pasca-pandemi.
Pemerintah Kabupaten Aceh Barat telah bergerak cepat dengan mengalokasikan dana darurat untuk perbaikan rumah-rumah terdampak, meskipun detailnya masih dalam tahap finalisasi. BPBD setempat, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, juga merencanakan sosialisasi keselamatan gas bertekanan di tingkat kecamatan. “Kami akan pastikan tidak ada rumah yang dibiarkan rusak begitu saja; pemulihan harus holistik, mencakup dukungan psikososial bagi keluarga korban,” tegas Teuku Ronal, menekankan komitmen jangka panjang.

Sementara itu, keluarga korban menuntut penyelidikan mendalam untuk mencegah pengulangan. Ramli, yang bekerja sebagai sopir pengantar tabung, meninggalkan istri dan dua anak kecil di Medan, sementara M. Rizki, pemuda lokal yang baru saja memulai usaha kecil, menjadi simbol hilangnya generasi muda di desa. Komunitas Desa Gampa, yang dikenal gotong royong, kini bersatu dalam doa bersama dan gotong royong membersihkan puing, sebagai bentuk ketahanan yang telah teruji oleh sejarah.
Peristiwa tragis ini menjadi pengingat bahwa di balik kemajuan ekonomi pedesaan, keselamatan dasar tetap menjadi pondasi utama. Dengan analisis mendalam dan tindakan preventif, Aceh Barat—dan desa-desa serupa di Indonesia—dapat bertransformasi dari zona rentan menjadi model resiliensi.
Pewarta : Jaulim Saran

