RI News Portal. Kuala Lumpur, 25 Oktober 2025 – Di tengah hembusan angin perubahan yang melintas di kawasan Asia Tenggara, Thailand dan Kamboja bersiap menorehkan babak baru dalam sejarah hubungan bilateral mereka. Pada akhir pekan ini, kedua negara di ambang penandatanganan deklarasi bersama yang diharapkan menjadi tonggak de-eskalasi pasca-konflik perbatasan yang memuncak pada Juli lalu. Dokumen ini, yang secara informal kerap disebut sebagai “perjanjian damai” di kalangan pengamat internasional, akan diteken di sela-sela KTT ASEAN di Kuala Lumpur, dengan kehadiran tokoh-tokoh kunci yang turut membentuk dinamika regional.
Nikondet Phalangkun, juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, mengonfirmasi rencana ini dalam pernyataan resminya pada Jumat pagi. “Kami berencana menandatangani dokumen yang sering disebut media sebagai perjanjian damai itu di KTT ASEAN,” ujarnya, menekankan bahwa substansi sebenarnya adalah deklarasi hubungan bilateral yang menegaskan empat kesepakatan fundamental: de-eskalasi ketegangan, normalisasi interaksi lintas batas, penarikan aset militer berat, dan kerjasama dalam membersihkan ranjau darat serta memerangi kejahatan transnasional seperti pusat penipuan daring ilegal. “Penandatanganan hanya akan dilakukan jika persyaratan keempat poin tersebut terpenuhi sepenuhnya,” tambahnya, menandakan komitmen Bangkok terhadap proses yang transparan dan berkelanjutan.

Latar belakang deklarasi ini tak lepas dari luka mendalam yang ditinggalkan oleh bentrokan bersenjata pada 24 Juli 2025. Perselisihan perbatasan yang telah membara selama puluhan tahun – akarnya tertanam dalam traktat kolonial Prancis-Siam tahun 1904 dan 1907, serta putusan Mahkamah Internasional (ICJ) 1962 tentang Kuil Preah Vihear – meledak menjadi konfrontasi terburuk dalam satu dekade terakhir. Selama lima hari pertempuran sengit, artileri dan serangan udara saling silang, menewaskan sedikitnya 48 jiwa, termasuk warga sipil tak berdosa, serta memaksa ratusan ribu penduduk mengungsi dari wilayah perbatasan seperti provinsi Sa Kaeo di Thailand dan Banteay Meanchey di Kamboja. Rumah sakit dan sekolah pun menjadi korban tak langsung, memicu kecaman dari kelompok hak asasi manusia yang menyerukan investigasi independen atas dugaan pelanggaran kemanusiaan.
Gencatan senjata darurat diumumkan pada 4 Agustus, diikuti kesepakatan formal beberapa hari kemudian, berkat mediasi intensif dari berbagai pihak. Upaya diplomatik ini melibatkan pertemuan Komisi Bersama Penentuan Batas Wilayah Darat di New York saat Sidang Umum PBB dan di Kuala Lumpur, dengan kehadiran pengamat dari Amerika Serikat dan Malaysia – negara yang memegang presidensi ASEAN 2025. Thailand konsisten menegaskan bahwa seluruh kesepakatan bersifat bilateral, meski dukungan multilateral tetap krusial. Awal pekan ini, menteri pertahanan kedua negara mencapai konsensus atas rencana aksi untuk menarik senjata berat, operasi bersama pembersihan ranjau, pembentukan satuan tugas melawan kejahatan lintas batas, dan survei ulang segmen perbatasan yang ambigu.
Baca juga : Indonesia Sambut Timor Leste sebagai Anggota Penuh ASEAN di KTT ke-47
Penandatanganan yang direncanakan pada 26-28 Oktober ini akan menjadi momen simbolis yang kuat, dihadiri oleh Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim – dua figur yang berperan sentral dalam mendorong gencatan senjata Juli lalu melalui panggilan telepon langsung dan tekanan diplomatik. Trump, yang nominasi Nobel Perdamaiannya tahun ini menjadi sorotan, disebut-sebut akan memimpin upacara seremonial, menambah dimensi geopolitik pada acara regional ini. Anwar, sebagai ketua ASEAN, telah memposisikan Malaysia sebagai fasilitator utama, dengan deklarasi yang disebut “Kuala Lumpur Accord” sebagai buah dari inisiatifnya.
Namun, di balik kilau diplomasi, tantangan tetap mengintai. Para analis memperingatkan bahwa deklarasi ini hanyalah fondasi; implementasinya akan menentukan apakah perdamaian abadi atau sekadar jeda sementara. “Konflik ini bukan hanya soal tanah dan kuil kuno, tapi juga nasionalisme yang dipicu oleh dinamika politik internal,” kata seorang pakar hubungan internasional dari Universitas Kyoto, Pavin Chachavalpongpun, yang menyoroti bagaimana rekaman bocor mantan PM Kamboja Hun Sen memengaruhi jatuhnya PM Thailand Paetongtarn Shinawatra, memicu krisis politik di Bangkok. Di pihak lain, PM Kamboja Hun Manet telah menekankan komitmen Phnom Penh terhadap ICJ, meski Thailand lebih memilih jalur bilateral.

Dari perspektif humanis, dampak konflik terhadap masyarakat perbatasan tak terbayangkan. Petani padi seperti Pa Srakaeo, 58 tahun, dari Surin, Thailand, masih terjebak di pusat pengungsian, ragu akan kembalinya ke tanah airnya. “Ini 50-50, antara harapan dan ketakutan,” katanya, mencerminkan keresahan kolektif di kedua sisi garis Dângrêk Mountains. Sementara itu, tuduhan saling lempar soal ranjau darat – warisan perang saudara Kamboja – terus memicu insiden, dengan prajurit Thailand yang terluka menjadi pengingat akan urgensi de-mines bersama.
Deklarasi ini juga membuka peluang ekonomi yang lebih luas. Penghapusan ranjau dan pembukaan kembali pos lintas batas bisa merevitalisasi perdagangan bilateral, yang sempat terhenti akibat larangan impor buah dan bahan bakar. Kerjasama melawan penipuan daring, yang merugikan warga Thailand miliaran baht, diharapkan memperkuat kepercayaan. Bagi ASEAN, momen ini menguji kredibilitas blok regional dalam menangani isu internal, terutama dengan Timor-Leste yang akan bergabung sebagai anggota ke-11.
Pagi ini, saat delegasi kedua negara tiba di Kuala Lumpur, udara dipenuhi optimisme hati-hati. Nikondet menutup pernyataannya dengan nada harapan: “Ini bukan akhir dari perjuangan, tapi awal dari era kolaborasi.” Bagi Thailand dan Kamboja, deklarasi ini bisa menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih cerah – atau, jika gagal, bara yang menyala kembali. Dunia menyaksikan, apakah Asia Tenggara mampu menulis ulang narasi konflik menjadi kisah rekonsiliasi.
Pewarta : Albertus Parikesit

