RI News Portal. Semarang, 18 Oktober 2025 – Kasus dugaan perampasan kendaraan oleh oknum debt collector yang mengklaim bertindak atas nama lembaga pembiayaan Mandiri Tunas Finance Cabang Semarang kini memasuki fase penyidikan mendalam di tingkat provinsi. Insiden yang menimpa pasangan pedagang Mulyani dan Tasriah pada 13 Oktober lalu tidak hanya menjadi catatan kelam bagi keluarga korban, tetapi juga menjadi katalisator diskusi luas tentang kelemahan sistem eksekusi jaminan fidusia di Indonesia. Dengan laporan pidana yang baru saja diterima Polisi Daerah Jawa Tengah, para ahli hukum memperingatkan bahwa praktik semacam ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sektor keuangan, sekaligus menuntut revisi regulasi yang lebih ketat.
Kronologi kejadian bermula dari aksi pengepungan di Jalan Palebon, Kecamatan Pedurungan, Semarang. Saat itu, sekelompok individu yang mengendarai Honda Brio tiba-tiba menghadang Daihatsu Pick Up bernomor polisi K 8641 CC milik Devy Sistiarini, yang sedang dikemudikan Mulyani dan Tasriah. Korban menggambarkan momen itu sebagai mimpi buruk: tiga orang berpakaian sipil turun dengan nada mengancam, memaksa mereka keluar dari kendaraan, dan langsung membawanya pergi ke lokasi tidak diketahui. “Kami hanya pedagang kecil yang bergantung pada mobil itu untuk mencari nafkah harian. Tiba-tiba saja, hidup kami berhenti seketika,” ujar Tasriah dengan suara bergetar, saat diwawancarai di kantor firma hukum yang menanganinya.
Langkah cepat diambil oleh keluarga korban, yang langsung menghubungi tim advokat dari Organisasi Advokat dan Paralegal FERADI WPI Cabang Kota Semarang. Dipimpin oleh Sukindar, C.S.H., C.PFW., C.MDF., dari Firma Hukum Subur Jaya, rombongan segera mendatangi kantor lembaga pembiayaan di Jalan Indraprasta. Di sana, Sukindar menyodorkan argumen hukum berbasis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 jo Nomor 2/PUU-XIX/2021, yang membatalkan kekuatan eksekutorial langsung atas jaminan fidusia kecuali melalui proses pengadilan. “Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 1999 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai bahwa eksekusi harus setara dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Tindakan di luar itu berisiko pidana, termasuk perampasan dan pengancaman,” tegas Sukindar, menekankan bahwa mediasi awal justru direspons dengan sikap ambigu dari pihak terkait.

Meski upaya damai gagal menghasilkan kejelasan—termasuk permintaan pengembalian kendaraan yang esensial bagi usaha dagang korban—tim hukum memutuskan eskalasi ke ranah pidana. Pada Jumat lalu, laporan resmi diserahkan ke Satuan Penanganan Kejahatan dan Korupsi (SPKT) Polda Jawa Tengah, didampingi langsung ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum). Dugaan pelanggaran dijerat dengan Pasal 53 jo 335 jo 365 KUHP, mencakup unsur pembantuan, pemaksaan, dan penggelapan. Lampiran bukti meliputi surat perjanjian kredit, STNK asli, serta rekaman foto dan video yang mendokumentasikan konfrontasi di jalan raya.
Sukindar, yang juga menjabat Ketua DPC Kota Semarang FERADI WPI, menyambut baik respons aparat penegak hukum. “Kami berterima kasih atas penerimaan yang profesional dari Polda Jawa Tengah. Keyakinan kami tumbuh bahwa proses ini akan transparan, obyektif, dan subyektif dalam menegakkan keadilan. Ini bukan sekadar kasus individu, tapi panggilan untuk membersihkan praktik eksekusi liar yang masih merajalela,” katanya. Ia menambahkan bahwa keterlibatan awak media dalam setiap tahap pelaporan bertujuan memperkuat fungsi pengawasan publik, memastikan bahwa narasi korban tidak tenggelam dalam birokrasi.

Dari perspektif akademis, kasus ini menjadi studi kasus berharga bagi diskursus hukum fidusia pasca-reformasi konstitusional. Menurut Dr. Rina Wijaya, pakar hukum perdata dari Universitas Diponegoro, putusan MK tersebut dirancang untuk melindungi debitur dari intimidasi premanistik, dengan menuntut keterlibatan pengadilan negeri sebagai mekanisme eksekusi. “Tanpa itu, kita kembali ke era ‘kekuatan eksekutorial’ yang rawan penyalahgunaan, di mana debt collector bertindak sebagai ‘hakim dadakan’. Data dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jawa Tengah menunjukkan peningkatan 20 persen keluhan serupa sepanjang 2025, menandakan urgensi pengawasan lebih ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” jelas Wijaya dalam wawancara eksklusif.
Lebih jauh, Wijaya menganalogikan fenomena ini dengan tren global di sektor pembiayaan mikro, di mana negara-negara seperti India dan Brasil telah mengadopsi model ‘eksekusi berbasis mediasi’ untuk mengurangi konflik jalanan. “Di Indonesia, integrasi teknologi seperti platform digital untuk verifikasi kredit bisa mencegah kesalahan identifikasi, sementara pelatihan etika bagi debt collector harus menjadi prioritas. Kasus Semarang ini bisa menjadi momentum bagi undang-undang baru yang menggabungkan perlindungan konsumen dengan efisiensi bisnis,” tambahnya, merujuk pada kerangka Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang baru diterapkan.
Sementara itu, Mulyani, suami Tasriah, berbagi cerita emosional tentang dampak psikologis. “Anak kami, Andika, menyaksikan semuanya. Dia trauma, takut keluar rumah. Mobil itu bukan barang mewah; itu roda ekonomi kami. Kami berharap keadilan ini membuka mata semua pihak agar tidak ada lagi keluarga yang hancur karena tunggakan sementara.” Keluarga kini bertahan dengan pinjaman darurat dari tetangga, sambil menanti kemajuan penyidikan.
Hingga kini, pihak lembaga pembiayaan dan oknum debt collector belum memberikan tanggapan resmi atas tudingan tersebut. Namun, dalam semangat jurnalisme yang bertanggung jawab, ruang tetap terbuka bagi hak jawab dari semua keterlibatan, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan prinsip etika jurnalistik nasional. Proses di Polda Jawa Tengah diharapkan tidak hanya menyelesaikan kasus ini, tapi juga mendorong preseden nasional: bahwa keadilan fidusia harus inklusif, bukan eksklusif bagi yang kuat.
Pewarta : Sriyanto

