
RI News Portal. Jakarta, 14 Oktober 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan penggalian jejak kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), dengan memanggil mantan pejabat tinggi era Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Pemeriksaan ini menandai upaya penyidik untuk membongkar akar permasalahan yang diduga telah meresap sejak lebih dari satu dekade, mengungkap pola korupsi sistemik yang membebani iklim investasi asing di Indonesia.
Pemeriksaan dilakukan terhadap Rahmawati Yaunidar (RY), mantan Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemenaker, di Polres Karanganyar, Jawa Tengah. “Pemeriksaan bertempat di Polres Karanganyar atas nama RY, mantan Direktur PPTKA Kemenaker,” ungkap Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada tim redaksi Insight Korupsi melalui konfirmasi di Jakarta, Selasa siang. Pemanggilan RY ini bagian dari strategi KPK untuk melacak transisi praktik tidak sehat antar-periode kepemimpinan menteri, di mana dugaan pemerasan RPTKA telah menjadi “warisan” yang merugikan.
Selain RY, penyidik juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap tiga saksi kunci dari kalangan swasta: IJS sebagai Direktur PT Fortuna Sada Nioga, SYM selaku Direktur PT Vanis Rizki, serta JM dan YLS yang mewakili pihak swasta terkait. Para saksi ini diduga memiliki pengetahuan mendalam tentang mekanisme “uang pelicin” yang diterapkan dalam proses verifikasi RPTKA, dokumen esensial yang menjadi gerbang bagi tenaga kerja asing (TKA) untuk beroperasi di Indonesia. Tanpa RPTKA, proses penerbitan izin kerja dan visa tinggal terhenti, memicu denda harian Rp1 juta per pekerja—tekanan finansial yang dimanfaatkan para pelaku untuk memeras pemohon.

Kasus ini mencuat sejak Juni 2025, ketika KPK menetapkan delapan aparatur sipil negara (ASN) Kemenaker sebagai tersangka: Suhartono (mantan Dirjen Binapenta dan PKK 2020-2023), Haryanto (Dirjen Binapenta 2024-2025), Wisnu Pramono (mantan Direktur PPTKA 2017-2019), Devi Anggraeni (Direktur PPTKA 2024-2025), Gatot Widiartono (PPK PPTKA 2021-2025), Putri Citra Wahyoe (verifikator RPTKA 2019-2025), Jamal Shodiqin (analis TU PPTKA 2019-2024), serta Alfa Eshad (pengantar kerja ahli PPTKA 2018-2025). Modus operandi mereka melibatkan penundaan sengaja atas nama “kekurangan berkas”, diikuti tuntutan suap untuk percepatan—praktik yang selama 2019-2024 telah meraup Rp53,7 miliar dari perusahaan dan agen TKA.
Penahanan tersangka dilakukan bertahap: kloter pertama empat orang pada 17 Juli 2025, diikuti kloter kedua pada 24 Juli 2025, di Rutan Cabang Gedung Merah Putih KPK. KPK juga telah menyita aset signifikan, termasuk 13 unit kendaraan, puluhan bidang tanah, dan bangunan senilai miliaran rupiah, sebagai bukti aliran dana haram yang mendanai gaya hidup mewah para tersangka.
Yang membuat kasus ini begitu mengkhawatirkan adalah kedalamannya secara temporal. KPK mengungkap bahwa praktik pemerasan ini bukanlah fenomena baru, melainkan berakar sejak era Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2009-2014). Periode ini ditandai dengan liberalisasi pasar tenaga kerja asing pasca-krisis global 2008, di mana aliran TKA dari Asia Tenggara dan Eropa melonjak untuk mendukung sektor manufaktur dan pertambangan. Namun, di balik itu, celah birokrasi RPTKA menjadi ladang subur bagi pungli.
Baca juga : KTT Perdamaian Gaza Jadi Langkah Awal Menuju Perdamaian Menyeluruh di Palestina
Transisi ke era Hanif Dhakiri (2014-2019) tidak menghentikan momentum korupsi; justru, reformasi digitalisasi pengurusan RPTKA yang digulirkan saat itu diduga dimanipulasi untuk menyembunyikan transaksi gelap. Data internal KPK menunjukkan, selama periode ini, volume pengajuan RPTKA meningkat 40% secara tahunan, seiring pertumbuhan FDI (Foreign Direct Investment) yang mencapai US$28 miliar pada 2018. Pemanggilan RY, yang menjabat di puncak era Dhakiri, diharapkan mengungkap bagaimana instruksi dari level direktur turun ke staf verifikasi, menciptakan rantai pemerasan yang terstruktur.
Kemudian, di bawah Ida Fauziyah (2019-2024), praktik ini mencapai puncaknya, dengan total kerugian negara Rp53,7 miliar—setara dengan biaya pelatihan vokasi untuk 50.000 pekerja lokal. Fauziyah sendiri, dalam pernyataan resminya pasca-penetapan tersangka, menegaskan komitmen pembersihan, tetapi kritikus dari kalangan akademisi seperti Prof. Todung Mulya Lubis menyebut ini sebagai “kegagalan pengawasan struktural” yang merusak citra Indonesia sebagai tujuan investasi ramah bisnis.
Secara akademis, kasus ini mencerminkan paradoks kebijakan ketenagakerjaan Indonesia: sementara RPTKA dirancang untuk melindungi pekerja nasional melalui klausul transfer teknologi dari TKA, praktik pemerasan justru menghambat alur investasi legitimate. Studi dari Lembaga Penelitian Ekonomi (LPEM) UI memperkirakan, penundaan RPTKA menyebabkan kerugian produktivitas hingga Rp200 miliar per tahun di sektor manufaktur, di mana TKA mendominasi posisi spesialis seperti engineering dan manajemen rantai pasok.

Lebih lanjut, dampak sosialnya merembet ke ketidakadilan bagi pekerja lokal. Uang suap yang mengalir ke kantong pejabat mengurangi anggaran untuk program pelatihan vokasi, memperlemah daya saing tenaga kerja Indonesia di tengah kompetisi regional ASEAN. Pakar korupsi dari Universitas Indonesia, Dr. Rimawan Pradiptyo, dalam wawancara eksklusif dengan Insight Korupsi, menilai: “Ini bukan sekadar pemerasan individu, tapi korupsi institusional yang melemahkan fondasi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. KPK harus ekspansi ke era pra-2019 untuk mencegah residu sistemik.”
Sementara itu, dari perspektif swasta, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengkritik: “Perusahaan terpaksa bayar ‘biaya tak resmi’ ini untuk bertahan, tapi ujungnya merugikan inovasi lokal. Reformasi RPTKA harus holistik, termasuk transparansi blockchain untuk tracking pengajuan.”
Pemanggilan RY dan saksi swasta hari ini menegaskan komitmen KPK untuk tidak berhenti di delapan tersangka. Budi Prasetyo menambahkan bahwa penyidikan kini menyasar aliran dana lintas periode, dengan potensi penambahan tersangka jika bukti baru muncul. “Kami sedang rekonstruksi timeline sejak 2009, untuk memastikan tidak ada celah yang lolos,” katanya.
Kasus ini juga menjadi pengingat bagi pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih 2024: reformasi birokrasi bukan hanya slogan, tapi kebutuhan mendesak untuk menjaga kepercayaan investor. Dengan total kerugian yang terus digali, KPK berpotensi mengembalikan aset lebih dari Rp8,5 miliar yang telah disita—langkah awal menuju keadilan restoratif.
Insight Korupsi akan terus memantau perkembangan, termasuk respons resmi dari Kemenaker dan potensi tuntutan hukum lebih lanjut. Kasus RPTKA ini bukan akhir, melainkan babak baru dalam perjuangan melawan korupsi endemik di sektor publik.
Pewarta : Yogi Hilmawan
