
RI News Portal. Lampung Timur, 27 Juni 2025 — Pembangunan kolam budidaya ikan nila (empang) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Tanjak, tepatnya di Dusun Asam Kamal, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur, menuai protes keras dari warga. Keberadaan kolam ikan tersebut diduga telah memecah aliran sungai tunggal menjadi bercabang dua, memicu kekhawatiran terkait penyempitan bantaran sungai, kerusakan ekosistem, serta potensi banjir.
Diketahui empang tersebut awalnya dimiliki oleh seorang warga berinisial S (50), yang mengaku telah mengoperasikan kolam budidaya ikan nila itu selama sekitar delapan tahun. S berdalih bahwa pemecahan aliran sungai menjadi dua jalur justru bertujuan mengurangi risiko banjir di kawasan itu.
“Aliran sungai ini dulunya sering banjir besar sampai jembatan antar-dusun hilang terbawa air. Setelah dibuat dua jalur, tidak pernah banjir lagi,” kata S ketika dikonfirmasi di Dusun 4 Asam Kamal, Selasa (24/6/2025).

Namun, S menambahkan bahwa kegiatan budidaya ikan tersebut sudah berhenti karena mengalami kerugian operasional hingga ratusan juta rupiah. Ia mengaku telah menjual empang itu seharga Rp180 juta kepada pihak lain berinisial D.
Di sisi lain, warga sekitar tetap menilai keberadaan empang di tepian sungai menimbulkan masalah serius. Mereka mempersoalkan penggunaan sebagian lahan bantaran sungai yang semestinya menjadi ruang publik dan area konservasi air.
“Kami biasanya mandi di sungai itu pagi dan sore, apalagi di musim kemarau. Sekarang banyak yang terganggu. Bantaran sungai menyempit, sawah saya juga kebanjiran, hasil panen turun,” ujar salah satu warga, yang meminta namanya tidak dipublikasikan.
Senada dengan keluhan warga, Ketua DPD Gema Masyarakat Lokal Indonesia Bersatu (GML-IB) Kabupaten Lampung Timur, Safarudin, menegaskan adanya indikasi pelanggaran regulasi oleh pemilik empang. Safarudin menyebut pembangunan kolam di areal sempadan sungai menyalahi berbagai ketentuan perundang-undangan.
“Berdasarkan PP 38 Tahun 2011 tentang Sungai, kemudian Permen PUPR Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), kawasan sempadan sungai itu tidak boleh dikuasai untuk kepentingan pribadi,” tegas Safarudin.
Ia menilai penyempitan bantaran sungai akibat kolam ikan itu telah berpotensi merusak ekosistem perairan, memicu banjir, dan menyalahi prinsip tata kelola lingkungan berkelanjutan. Menurutnya, pemerintah daerah dan instansi teknis seperti Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) seharusnya turun tangan menertibkan penggunaan sempadan sungai yang diduga melanggar aturan.
“Ini perlu penegakan hukum. Jangan sampai kawasan sempadan sungai yang semestinya bebas bangunan justru dikuasai secara sepihak. Jika terbukti menyalahi aturan, harus dibongkar,” pungkasnya.
Fenomena pembangunan kolam ikan nila di kawasan sungai Way Tanjak ini menunjukkan adanya potensi konflik antara kepentingan ekonomi warga dengan perlindungan lingkungan dan fungsi sungai sebagai sumber daya publik. Permasalahan ini sekaligus mencerminkan tantangan dalam implementasi kebijakan zonasi sempadan sungai, terutama di daerah pedesaan.
Dengan banyaknya kritik publik dan munculnya perdebatan hukum, kasus ini diharapkan menjadi perhatian serius pemerintah daerah, termasuk dinas terkait di bidang lingkungan hidup dan pengairan. Pendalaman investigasi, pembinaan, serta tindakan tegas berbasis hukum lingkungan menjadi penting agar fungsi sungai sebagai penyangga ekosistem dan ruang publik tetap lestari.
Pewarta : Lii
