RI News Portal. Palu, 16 November 2025 – Ratusan jurnalis, aktivis masyarakat sipil, dan akademisi berkumpul di depan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah pada Minggu pagi, menyuarakan penolakan terhadap gugatan perdata yang diajukan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap PT Tempo Inti Media. Gugatan senilai Rp200 miliar itu menyasar pemberitaan berjudul “Poles-Poles Beras Busuk” yang mengkritik kebijakan penyerapan gabah oleh Perum Bulog.
Aksi mimbar bebas ini digagas oleh Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Sulawesi Tengah, sebuah koalisi lintas organisasi pers yang mencakup Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu dan elemen masyarakat sipil lainnya. Mereka menilai langkah hukum Amran sebagai bentuk Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yaitu upaya sistematis untuk membungkam kritik publik melalui jalur peradilan.
“Kami berada di sini untuk mempertahankan prinsip dasar demokrasi: kebebasan pers sebagai pilar keempat,” ujar Agung Sumandjaya, Ketua AJI Kota Palu, dalam orasinya. Ia menekankan bahwa gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 684/Pdt.G/2025/PN JKT SEL berpotensi menciptakan preseden buruk. “Jika dikabulkan, ini akan membuka pintu bagi pejabat negara lain untuk mengekang media dengan ancaman finansial yang masif,” tambahnya.

Konflik bermula dari publikasi Tempo pada 15 Mei 2025, yang mengungkap praktik petani menyiram gabah untuk menambah berat demi memenuhi kuota penyerapan Bulog dengan harga tetap Rp6.500 per kilogram. Kebijakan “any quality” ini, menurut laporan, menyebabkan gabah rusak di gudang Bulog—sebuah fakta yang bahkan diakui Amran dalam wawancara terpisah, sebagaimana dikutip dalam artikel lanjutan Tempo berjudul “Risiko Bulog Setelah Cetak Rekor Cadangan Beras Sepanjang Sejarah”.
Amran kemudian mengadukan kasus ini ke Dewan Pers. Pada Juni 2025, lembaga tersebut mengeluarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Nomor 3/PPR-DP/VI/2025, yang menyatakan adanya pelanggaran Kode Etik Jurnalistik pada Pasal 1 (ketidakakuratan dan melebih-lebihkan) serta Pasal 3 (pencampuran fakta dan opini menghakimi). Rekomendasi mencakup penggantian judul poster, permintaan maaf publik, moderasi konten, dan pelaporan pelaksanaan dalam waktu 2×24 jam. Tempo mematuhi seluruh poin tersebut tepat waktu.
Meski mekanisme etik telah diselesaikan, Amran tetap melanjutkan gugatan perdata, menuntut ganti rugi materil dan imateril atas dugaan perbuatan melawan hukum yang merugikan Kementerian Pertanian. Koordinator lapangan aksi, Muhajir, menyebut langkah ini sebagai “pembungkaman jalur hukum” yang mengabaikan hierarki penyelesaian sengketa pers. “Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara eksplisit menetapkan Dewan Pers sebagai mediator utama. Membawa kasus ke pengadilan umum justru melemahkan otonomi profesi jurnalistik,” katanya.
Analisis lebih lanjut mengungkap inkonsistensi dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXI/2023 (dikutip sebagai referensi tahun 2024 dalam pernyataan koalisi). Putusan tersebut membatasi tuduhan pencemaran nama baik hanya pada individu, bukan institusi pemerintah. “Gugatan dari kementerian sebagai entitas negara melanggar prinsip ini, karena berpotensi menjadikan anggaran publik sebagai alat intimidasi,” jelas Muhajir, yang juga merujuk pada Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin kebebasan menyampaikan informasi.
Dalam konteks akademis, kasus ini mencerminkan tren global SLAPP di negara demokrasi berkembang. Studi dari Reporters Without Borders (2024) menunjukkan bahwa 62% kasus serupa di Asia Tenggara melibatkan pejabat tinggi, dengan 78% di antaranya gagal di pengadilan tetapi berhasil menimbulkan efek chilling pada liputan investigatif. Di Indonesia, data Aliansi Jurnalis Independen nasional mencatat peningkatan 45% gugatan terhadap media sejak 2020, sebagian besar terkait isu korupsi dan kebijakan publik.
Aksi di Palu bukan sekadar demonstrasi; ia menjadi simbol solidaritas nasional. Peserta membawa spanduk bertuliskan “Pers Bukan Musuh Negara” dan “Hormati Dewan Pers”. Koalisi mendesak pengadilan menolak gugatan serta mendorong reformasi legislasi untuk melindungi jurnalis dari ancaman finansial. “Kami menolak kriminalisasi tugas publik. Pemerintah harus menghormati mekanisme etik internal pers,” tegas Muhajir.

Kasus ini juga menyoroti dilema etik jurnalistik di era digital: bagaimana menyeimbangkan akurasi dengan kecepatan publikasi, terutama pada isu sensitif seperti ketahanan pangan. Pakar hukum media dari Universitas Tadulako, yang hadir sebagai pengamat, menyatakan bahwa rekomendasi Dewan Pers seharusnya menjadi akhir dari sengketa, bukan awal dari litigasi berkepanjangan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kementerian Pertanian belum memberikan respons resmi terhadap aksi tersebut. Sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dijadwalkan pekan depan, di mana putusan awal akan menentukan arah kebebasan pers di Indonesia. Koalisi KKJ Sulteng berjanji melanjutkan pemantauan dan advokasi hingga isu ini terselesaikan secara adil.
Pewarta : Marco Kawulusan


Selamat pagi