RI News Portal. Kotamobagu, 17 September 2025 – Dini hari Selasa, 16 September 2025, menjadi momen yang penuh harapan bagi Prof. Ing Mokoginta, guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang telah menggelar perjuangan panjang selama delapan tahun mencari keadilan atas kasus pemalsuan dokumen dan perampasan tanah oleh jaringan mafia tanah. Pukul 11.00 WIB, mantan Ketua Rukun Tetangga (RT) Gogagoman, Reza, memasuki ruang penyidik Polda Sulawesi Utara untuk memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses Bahan Pemeriksaan (BAP) yang dipimpin penyidik Bareskrim Mabes Polri. Perkembangan ini menjanjikan titik terang, meski kasus yang melibatkan 12 tersangka ini masih bergulir tanpa resolusi pasti.
Reza, yang kini menjadi tokoh kunci dalam penyelidikan, menjalani pemeriksaan selama empat jam penuh. Setelah keluar dari ruangan, ia langsung diserbu awak media yang menunggu. Dengan suara mantap, Reza menyampaikan apresiasinya. “Saya mengapresiasi penyidik yang memeriksa saya tadi. Saya berharap di negeri ini masih ada orang-orang benar yang bisa menegakkan keadilan dan kebenaran,” ujarnya kepada wartawan. Ia menekankan bahwa pemeriksaannya sebagai saksi berfokus pada poin-poin fiktif terkait surat-surat yang pernah ditandatanganinya. “Yang datang ke rumah saya untuk memohon protek sertifikat itu adalah Bapak Maxi Mokoginta,” tegas Reza, menegaskan fakta krusial yang menjadi benang merah kasus ini.

Kuasa hukum Reza, Steven Bernadino Zeekeon, SH, ikut mendampingi kliennya sepanjang proses. Dalam pernyataan singkat pasca-pemeriksaan, Zeekeon mengungkapkan bahwa sesi tersebut bersifat konfrontatif. “Saya mendampingi klien saya, Bapak Reza, mantan RT Gogagoman, yang dimintai keterangan terkait persoalan yang dilaporkan oleh Prof. Ing. Ini kasus mafia tanah yang sedang viral di Indonesia saat ini,” katanya. Zeekeon menjelaskan bahwa pemeriksaan hari ini spesifik membahas proses penerbitan sertifikat tanah di kawasan Gogagoman, Kotamobagu Barat, yang diduga melibatkan pemalsuan surat. “Ini laporan dugaan pemalsuan surat terhadap penerbitan sertifikat,” tambahnya. Meski demikian, Zeekeon mengaku belum mengetahui nama-nama tersangka secara detail, meskipun ia telah menerima informasi bahwa daftar tersangka telah disusun.
Kasus ini mencuat sejak Agustus 2017, ketika Prof. Ing Mokoginta, yang dikenal sebagai figur akademisi berpengaruh di bidang pertanian, menjadi korban jaringan mafia tanah yang sistematis. Laporan polisi nomor LP/541/XII/2020/SULUT/SPKT diajukan pada 2020, menargetkan 12 individu yang diduga terlibat: Welly Mokoginta (Tiong), Jantje Mokoginta (Hian), Tjenny Mokoginta, Maxi Mokoginta, Stella Mokoginta, Herry Mokoginta (Kian), Corry Mokoginta, Datu Putra Dilapanga, Oktovinus Takasihaeng, Enstein Mondong, Alfrist Mamahit, dan Herman Sugeng. Dugaan pemalsuan dokumen ini tidak hanya merampas hak atas tanah warisan, tetapi juga menyeret Prof. Ing ke dalam labirin birokrasi hukum yang melelahkan.
Perjuangan Prof. Ing menjadi viral belakangan ini karena narasi tragisnya: delapan tahun “mengemis” keadilan di berbagai lembaga penegak hukum. Dari 2017 hingga 2020, ia berulang kali menyuarakan keluhannya, namun kasus tetap mandek. Pada 2021, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara menerbitkan dokumen P16, yang menandakan bahwa Polda Sulawesi Utara telah mengidentifikasi daftar tersangka. Harapan pun muncul, tapi kenyataan bertolak belakang. Hingga 2022, dua putusan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri gagal menyelesaikan perkara. “Ada apa di balik semua ini?” tanya Prof. Ing dalam salah satu pernyataannya yang beredar luas di media sosial, merujuk pada dugaan intervensi kekuasaan yang memungkinkan tersangka “mondar-mandir tertawa-tawa” sambil membeli keadilan.
Kasus ini bukan sekadar tragedi pribadi Prof. Ing, melainkan cerminan sistemik masalah mafia tanah di Indonesia. Jaringan ini sering kali melibatkan pejabat lokal, notaris, dan oknum aparat yang memanfaatkan celah birokrasi untuk merampas aset rakyat. Di Gogagoman, Kotamobagu Barat, tanah yang menjadi sengketa ini bukan hanya milik Prof. Ing, tapi juga warisan komunal yang seharusnya dilindungi. Pemeriksaan Reza hari ini diharapkan menjadi katalisator, membuka tabir lebih dalam tentang bagaimana surat fiktif diproduksi dan sertifikat diterbitkan secara ilegal.
Prof. Ing, yang kini berusia lanjut, telah menghabiskan tahun-tahun terbaiknya di balik meja sidang dan koridor polisi. “Saya berjuang bukan untuk diri sendiri, tapi untuk membuktikan bahwa keadilan bukan barang mewah yang bisa dibeli,” katanya dalam wawancara eksklusif dengan tim redaksi kami. Viralnya kasus ini di platform digital telah membangkitkan solidaritas netizen, dengan tagar #KeadilanUntukProfIng merajai tren nasional. Namun, di balik sorotan, pertanyaan mendasar tetap menggantung: akankah penegak hukum mampu menembus benteng kekuasaan yang melindungi para pelaku?
Sampai berita ini diturunkan, Bareskrim Mabes Polri belum memberikan konfirmasi resmi terkait perkembangan lebih lanjut. Namun, apa yang terjadi dini hari itu di Polda Sulawesi Utara adalah pengingat bahwa perjuangan keadilan, meski panjang, tak pernah sia-sia. Di negeri yang sering digambarkan sebagai tanah air para pahlawan, cerita Prof. Ing menjadi panggilan bagi kita semua untuk tidak diam.
Pewarta : Marco Kawulusan

