
RI News Portal. Jakarta, 22 Oktober 2025 – Dalam upaya mengungkap jaringan korupsi yang melibatkan pengadaan katalis di PT Pertamina (Persero), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini menyoroti dugaan keterlibatan pengusaha minyak Mohammad Riza Chalid (MRC), yang telah lama menjadi buronan dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait pengelolaan minyak mentah. Penelusuran ini muncul setelah temuan awal menunjukkan pola bisnis yang mencurigakan antara Riza Chalid dan Chrisna Damayanto (CD), mantan Direktur Pengolahan Pertamina periode 2012-2014, yang kini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pengadaan katalis.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa fokus investigasi bergeser ke skema operasional yang melibatkan anak usaha Pertamina di Singapura. “Informasi yang kami peroleh mengarah pada aktivitas bisnis di entitas cucu perusahaan Pertamina yang berbasis di Singapura, di mana Chrisna menjabat sebagai direktur utama,” ujar Asep dalam pernyataan resminya kepada pers pada Rabu (22/10). Perusahaan tersebut, yang bergerak di sektor tata niaga minyak mentah, diduga menjalin kerja sama dengan sejumlah entitas eksternal, termasuk yang terkait langsung dengan Riza Chalid sebagai pemilik manfaat utama PT Orbit Terminal Merak.

Dari perspektif struktural, tata niaga minyak mentah merupakan rantai pasok kompleks yang melibatkan impor, penyimpanan, dan distribusi bahan baku strategis bagi industri energi nasional. Analisis awal KPK mengindikasikan bahwa skema ini tidak hanya berpotensi melanggar prinsip pengadaan yang transparan, tetapi juga membuka celah bagi praktik kolusi yang merugikan keuangan negara. “Skema yang kami identifikasi menunjukkan adanya pola bisnis yang melibatkan perusahaan di mana nama Saudara MRC muncul secara signifikan,” tambah Asep, yang juga menjabat sebagai Direktur Penyidikan KPK. Meski demikian, lembaga antirasuah ini menekankan bahwa pendalaman masih dalam tahap awal, dengan prioritas memetakan alur dana dan kepentingan lintas yurisdiksi.
Kasus ini berakar pada tender pengadaan katalis untuk proses Residue Catalytic Cracking (RCC) di Refinery Unit (RU) VI Balikpapan, yang berlangsung pada tahun anggaran 2012-2014. Katalis, sebagai agen kimia esensial yang mengurangi kadar sulfur dalam produksi bahan bakar minyak (BBM), memainkan peran krusial dalam menjaga kualitas bahan bakar yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari. Namun, proses tender tersebut tercemar oleh dugaan manipulasi: PT Melanton Pratama (PT MP), yang mengikuti lelang atas nama Albemarle Corp (bagian dari Albemarle Pte Ltd), gagal lolos uji Advanced Catalyst Evaluation (ACE) Test. Atas arahan Frederick Aldo Gunardi (FAG), pegawai PT MP, dan rekannya Alvin Pradipta Adiyota (APA), permintaan “pengkondisian” diajukan kepada Chrisna Damayanto untuk menghapus syarat uji tersebut, sehingga memungkinkan PT MP kembali berpartisipasi.
Baca juga : Opini Publik AS Menantang Kebijakan Trump: Mayoritas Dukung Pengakuan Negara Palestina
Sebagai respons, KPK telah menahan tiga tersangka utama sejak 9 September 2025: Gunardi Wantjik (GW), Direktur PT MP; Frederick Aldo Gunardi; serta Alvin Pradipta Adiyota. Penahanan mereka berlangsung selama 20 hari awal di fasilitas rutan cabang KPK di Gedung Merah Putih K4 dan Gedung C1, dengan masa berlaku hingga 28 September 2025. Chrisna Damayanto sendiri belum ditahan karena kondisi kesehatan yang sedang ditangani, meskipun status tersangkanya telah ditegaskan sejak penggeledahan pada Juli 2025 di kediamannya dan rumah Alvin, serta lokasi terkait PT MP.
Dari sudut pandang akademis, kasus ini mencerminkan kerentanan sistemik dalam pengelolaan aset negara di sektor energi, di mana hubungan bisnis lintas batas sering kali menjadi sarang konflik kepentingan. Sebuah studi dari Institut Studi Ekonomi dan Hukum (ISEH) tahun 2024 menyoroti bahwa lebih dari 40 persen kasus korupsi di industri migas Indonesia melibatkan elemen tata niaga internasional, dengan modus utama berupa gratifikasi terselubung melalui anak usaha di yurisdiksi lepas pantai seperti Singapura. “Ini bukan sekadar suap tunggal, melainkan jaringan yang memanfaatkan celah regulasi untuk menggerus efisiensi pengadaan,” kata Dr. Lina Wijaya, pakar korupsi korporat dari Universitas Indonesia, yang menganalisis pola serupa dalam kasus-kasus sebelumnya. Penelitiannya, yang diterbitkan di Jurnal Hukum Ekonomi Indonesia, menekankan perlunya reformasi berbasis teknologi, seperti platform verifikasi blockchain untuk tender strategis, guna mencegah rekayasa hasil uji kualitas.

Lebih lanjut, keterkaitan dengan Riza Chalid menambah lapisan kompleksitas. Sebagai figur sentral dalam kasus TPPU yang ditangani Kejaksaan Agung, Chalid telah lama menghilang dari radar penegak hukum sejak 2023, setelah terlibat dalam dugaan pengelolaan minyak ilegal melalui PT Orbit Terminal Merak. Temuan KPK kini mengimplikasikan bahwa bisnis minyak mentahnya mungkin tumpang tindih dengan pengadaan katalis, berpotensi membentuk rantai korupsi yang lebih luas. “Hubungan ini tidak bersifat personal semata, tapi struktural—di mana posisi kunci di Pertamina dimanfaatkan untuk mengakomodasi vendor eksternal,” jelas Ian Faisal, analis kebijakan energi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. Menurutnya, tanpa audit komprehensif atas transaksi historis di anak usaha Singapura, risiko kebocoran anggaran negara bisa mencapai miliaran rupiah per tahun.
Penyidik KPK menargetkan penyelesaian pendalaman dalam waktu dekat, dengan kemungkinan penambahan tersangka jika bukti baru muncul. Kasus ini tidak hanya menguji ketajaman lembaga antirasuah, tapi juga menjadi pengingat bagi regulator untuk memperkuat pengawasan atas sektor energi yang vital bagi perekonomian nasional. Di tengah transisi menuju energi berkelanjutan, integritas pengadaan seperti katalis menjadi pondasi utama untuk menghindari skandal yang merusak kepercayaan publik.
Pewarta : Yudha Purnama
