RI News Portal. Jakarta, 4 September 2025 – Dalam sebuah pengembangan dramatis yang mengguncang sektor pendidikan nasional, Kejaksaan Agung (Kejagung) secara resmi menetapkan Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook. Keputusan ini menandai eskalasi penyidikan terhadap program digitalisasi pendidikan yang digadang-gadang sebagai tonggak modernisasi sekolah di Indonesia, namun kini terjerat isu penyimpangan anggaran.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo, mengumumkan penetapan ini di Gedung Jampidsus Kejagung, Jakarta, pada Kamis. “Berdasarkan hasil pemeriksaan dan alat bukti, kami kembali menetapkan satu orang tersangka dengan inisial NAM (Nadiem Makarim),” ujar Nurcahyo dalam konferensi pers yang disiarkan secara virtual untuk memastikan transparansi proses hukum.

Menurut Nurcahyo, Nadiem diduga terlibat langsung dalam perencanaan penggunaan produk Google untuk pengadaan alat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Kemendikbudristek pada 2020. Ironisnya, perencanaan ini dilakukan sebelum proses pengadaan resmi dimulai, yang menimbulkan dugaan adanya kolusi dan penyalahgunaan wewenang. Pasal yang disangkakan mencakup Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikombinasikan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal ini menyoroti elemen kerugian negara dan penyalahgunaan jabatan yang berpotensi merugikan keuangan publik hingga miliaran rupiah.
Sebagai langkah lanjutan, Nadiem akan ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan selama 20 hari mendatang. Penahanan ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan pelarian atau penghilangan barang bukti, sementara penyidik melanjutkan pengumpulan keterangan dari saksi-saksi terkait.
Baca juga : Muhammadiyah Lampung Gelar Darul Arqom Zona 3: Membangun Kepemimpinan Berkemajuan di Tengah Nilai Islami
Kasus ini berawal dari program ambisius Kemendikbudristek untuk mendigitalisasi pendidikan dasar dan menengah selama periode 2019-2022, di tengah pandemi COVID-19 yang memaksa pembelajaran jarak jauh. Pengadaan Chromebook, yang dirancang sebagai perangkat murah dan mudah diintegrasikan dengan ekosistem Google, seharusnya menjadi solusi inklusif bagi siswa di daerah terpencil. Namun, penyidikan Kejagung mengungkap indikasi markup harga, pemilihan vendor tanpa tender kompetitif, dan pengaruh lobi dari pihak swasta.
Dengan penetapan Nadiem, total tersangka kini mencapai lima orang. Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan empat individu lain yang terlibat dalam rantai pengadaan ini. Mereka termasuk Jurist Tan (JT), yang menjabat sebagai Staf Khusus Mendikbudristek dari 2020 hingga 2024, dan Ibrahim Arief (BAM), mantan konsultan teknologi di kementerian tersebut. Keduanya diduga berperan dalam koordinasi teknis yang menyimpang dari prosedur standar.

Selain itu, Sri Wahyuningsih (SW), Direktur Sekolah Dasar pada Direktorat PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek tahun 2020-2021, serta Mulyatsyah (MUL), Direktur Sekolah Menengah Pertama pada periode yang sama, juga ditetapkan sebagai tersangka. Kedua pejabat ini berfungsi sebagai kuasa pengguna anggaran, yang bertanggung jawab atas alokasi dana negara untuk pengadaan tersebut. Dugaan korupsi mereka melibatkan manipulasi spesifikasi barang dan persetujuan kontrak yang tidak transparan.
Dari perspektif akademis, kasus ini menyoroti kerentanan sektor pendidikan terhadap praktik korupsi, terutama dalam inisiatif teknologi yang melibatkan anggaran besar. Penelitian dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menunjukkan bahwa korupsi di bidang pengadaan barang sering kali merusak kualitas layanan publik, termasuk akses pendidikan berkualitas. Dalam konteks ini, program Chromebook yang seharusnya mendemokratisasi akses teknologi justru berpotensi meninggalkan warisan ketidakadilan, di mana dana negara dialihkan dari kebutuhan siswa ke kantong pribadi.
Para ahli pendidikan, seperti profesor dari Universitas Indonesia, berpendapat bahwa skandal ini bisa menjadi momentum untuk reformasi struktural. “Korupsi bukan hanya masalah hukum, tapi juga etika kepemimpinan di sektor publik,” kata seorang pakar yang enggan disebut namanya. Implikasinya meluas ke kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, terutama di era pasca-pandemi di mana digitalisasi pendidikan menjadi prioritas global.
Sementara itu, Kemendikbudristek saat ini belum memberikan respons resmi, meski sumber internal menyebutkan adanya audit internal untuk mencegah kasus serupa. Penyidikan Kejagung diharapkan membongkar jaringan lebih luas, termasuk keterlibatan vendor asing seperti Google, yang selama ini menyangkal adanya pelanggaran.
Kasus ini terus dipantau oleh publik, dengan tuntutan agar proses hukum berjalan adil dan cepat. Sebagai mantan CEO Gojek yang dikenal sebagai inovator, penetapan Nadiem sebagai tersangka menimbulkan pertanyaan besar: apakah ambisi reformasi bisa bertahan di tengah sistem birokrasi yang rentan korupsi? Jawabannya mungkin akan terungkap dalam persidangan mendatang.
Pewarta : Yogi Hilmawan

