RI News Portal. Yogyakarta, 17 Oktober 2025 – Di tengah gemuruh alunan gamelan dan tari saman yang memenuhi jalanan Malioboro, Pemerintah Indonesia hari ini resmi mengukir sejarah baru dengan menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Melalui Surat Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025, langkah strategis ini dirancang untuk memperkokoh identitas nasional sekaligus merayakan perjalanan panjang kebudayaan bangsa yang sarat makna.
Pemilihan tanggal 17 Oktober bukanlah kebetulan semata, melainkan akar historis yang dalam. Tepat pada 17 Oktober 1951, Lambang Negara Garuda Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi. Peristiwa itu, lahir di tengah gejolak pasca-kemerdekaan, menjadi simbol kuat persatuan dalam keberagaman—sebuah pesan yang kini bergema lebih lantang di era digital dan globalisasi. “Ini adalah pengingat bahwa budaya kita adalah jembatan yang tak tergoyahkan, menghubungkan masa lalu dengan masa depan,” ujar Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat membuka peringatan perdana di Taman Sari, Yogyakarta.
Bagi Zon, Hari Kebudayaan Nasional jauh melampaui ritual tahunan. “Ini bukan sekadar simbol, tapi panggilan kolektif untuk menjaga fondasi karakter bangsa. Di saat budaya sering tergerus arus modernitas, kita harus nyalakan kembali obor abadinya,” tegasnya, sambil menyaksikan puluhan seniman muda mempertunjukkan kreasi kontemporer yang memadukan wayang kulit dengan elemen street art. Pernyataan itu langsung disambut sorak sorai ribuan warga yang memadati acara, menandakan lahirnya semangat baru di kalangan generasi muda.

Usulan ini berawal dari komunitas seniman dan budayawan di Yogyakarta, kota yang dikenal sebagai jantung kebudayaan Nusantara. Selama dua tahun terakhir, mereka menggelorongkan petisi dan dialog lintas daerah, menekankan bahwa tanpa hari khusus, warisan seperti batik, angklung, dan tradisi gotong royong berisiko pudar. Pemerintah, setelah kajian mendalam oleh tim ahli antropologi dan sejarawan, akhirnya menyetujui sebagai bentuk penghargaan atas kekayaan 1.300 suku bangsa Indonesia. “Yogyakarta bukan hanya lahirkan ide, tapi jadi laboratorium hidup budaya kita,” kata Ketua Komunitas Seni Jogja, Mbak Siti, yang turut hadir membawa obor simbolis.
Peringatan pertama tahun ini bertema Menyalakan Obor Budaya Abadi, mengubah Yogyakarta menjadi kanvas hidup selama tiga hari ke depan. Bayangkan: pameran interaktif di Kraton yang memungkinkan pengunjung “masuk” ke dunia digital Ramayana, dialog malam hari di Benteng Vredeburg soal toleransi di tengah polarisasi sosial, hingga parade seni jalanan yang melibatkan 500 pelaku budaya dari Sabang hingga Merauke. Tak ketinggalan, workshop pembuatan batik ramah lingkungan dan sesi storytelling lisan yang dituturkan oleh tetua adat Papua—semua dirancang agar budaya tak lagi jadi museum mati, tapi napas sehari-hari.
Dalam era di mana algoritma sering mendikte selera, inisiatif ini unik karena menolak pendekatan top-down semata. Alih-alih sekadar pidato, pemerintah libatkan platform kolaboratif berbasis komunitas, memastikan suara seniman akar rumput terdengar. Hasilnya? Antusiasme meledak: survei kilat di lokasi menunjukkan 92 persen peserta merasa lebih bangga akan jati diri bangsa, dengan cerita pribadi seperti seorang mahasiswa Jakarta yang kini terinspirasi mendokumentasikan ritual adat Minang via video pendek.
Baca juga : KPK Dalami Modus Korupsi Anoda Logam ANTAM-Loco Montrado: Kerugian Negara Tembus Rp100 Miliar
Melalui Hari Kebudayaan Nasional, Pemerintah berharap lahir kesadaran kolektif yang mendalam: setiap 17 Oktober adalah panggilan untuk mencintai warisan, menumbuhkan toleransi, dan bangkitkan gotong royong. Di saat bangsa menghadapi tantangan seperti erosi bahasa daerah dan pengaruh budaya impor, momen ini jadi katalisator. “Bayangkan Indonesia 2045: generasi yang tak hanya pintar teknologi, tapi kaya jiwa budaya,” tutup Zon, sambil menyalakan obor raksasa yang melambangkan api tak pernah padam.
Hari ini, saat matahari terbenam di ufuk Yogyakarta, ribuan orang berbaris membentuk formasi Garuda—bukti nyata bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukan slogan usang, tapi denyut nadi bangsa. Selamat Hari Kebudayaan Nasional pertama! Mari, setiap tahun, kita nyalakan obor itu bersama—untuk Indonesia yang lebih bersatu, lebih berbudaya.
Pewarta : Rendro P

