RI News Portal. Semarang, 17 September 2025 – Gelombang aksi unjuk rasa yang berujung pada perusakan fasilitas umum belakangan ini menjadi sorotan serius kalangan akademisi. Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum., Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, menegaskan bahwa demonstrasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Kebebasan berpendapat, sebagai hak konstitusional, dilindungi undang-undang, namun eskalasi aksi yang merusak fasilitas umum dan mengganggu ketertiban tidak dapat ditoleransi.
“Demonstrasi kemarin pada dasarnya adalah hal biasa. Warga negara berhak mengekspresikan pendapatnya, dan aksi awalnya berlangsung aman serta sesuai izin yang diberikan. Namun, ketika aksi beralih ke perusakan fasilitas umum atau mengganggu ketertiban, aparat kepolisian berwenang mengambil tindakan tegas sesuai standar operasional prosedur (SOP),” ujar Prof. Rahayu saat ditemui di kampus Universitas Diponegoro, Tembalang, Semarang, pada Selasa (16/9).

Menurutnya, penegakan hukum oleh kepolisian harus dilakukan secara profesional untuk menciptakan efek jera bagi pelaku perusakan dan tindakan anarkis. “Tindakan tegas bukan berarti arogan, tetapi harus sesuai SOP agar situasi tetap kondusif,” tambahnya.
Salah satu tuntutan dalam unjuk rasa adalah reformasi Polri, yang tercakup dalam “17+8 aspirasi dan desakan rakyat”. Prof. Rahayu menjelaskan bahwa reformasi Polri sebenarnya telah dimulai sejak 2002, ketika institusi ini beralih dari militer menjadi sipil. “Reformasi setuju, tetapi bukan berarti memulai dari nol. Polri sudah menunjukkan banyak kemajuan. Yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi aspek-aspek yang masih perlu diperbaiki,” ungkapnya.
Ia menyarankan Polri untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat dengan pendekatan humanis, seperti melalui program “Polisi Sahabat Anak”. Program ini diharapkan dapat mengubah persepsi negatif, terutama di kalangan anak-anak, yang sering merasa takut saat melihat polisi. “Saat demonstrasi, misalnya, aparat di barisan terdepan seharusnya tidak bersikap arogan atau menggunakan kekerasan, kecuali jika ada aksi perusakan atau penyerangan. Itu pun harus sesuai SOP,” jelasnya.
Baca juga : Kompolnas Klarifikasi Penanganan Unjuk Rasa dan Kecelakaan Mahasiswa di Jawa Tengah
Prof. Rahayu juga menyoroti pentingnya Polri memahamkan masyarakat tentang tugas dan wewenang mereka, termasuk prosedur penguraian massa. “Masyarakat perlu tahu bahwa tindakan polisi dalam mengatasi kerusuhan didasarkan pada SOP. Polri tidak hanya menangani kriminalitas seperti pencurian, tetapi juga memiliki peran besar dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas),” ujarnya.
Ia mencontohkan peran Bhabinkamtibmas, yang aktif terlibat dalam kegiatan masyarakat di wilayahnya. “Polri perlu terus memperkenalkan tugas-tugas seperti ini kepada publik, sehingga citra mereka tidak hanya terkait penegakan hukum, tetapi juga pelayanan masyarakat,” tambahnya.
Prof. Rahayu berharap Polri terus meningkatkan pendekatan humanis dan memperkuat hubungan dengan masyarakat. Dengan fokus pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi) menjaga kamtibmas, Polri diharapkan mampu menjalankan peran mereka secara profesional, sekaligus menjawab aspirasi masyarakat tanpa menghilangkan capaian reformasi yang telah diraih selama ini.
Pewarta : Nandang Bramantyo

