
RI News Portal. Padang, 10 Oktober 2025 – Di bawah langit senja yang mulai meredup, ratusan petani Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, menggelar aksi demonstrasi yang penuh semangat tapi terkendali. Pukul 18.20 WIB, tepat saat matahari terbenam di ufuk barat, sekitar 200 warga berbondong-bondong menuju gerbang utama PT Sukses Jaya Wood (SJW), perusahaan pengolahan kayu yang beroperasi di perbatasan Kecamatan Lunang dan Silaut. Dengan bambu runcing ala perjuangan kemerdekaan di tangan kanan dan bendera Merah Putih yang dikibarkan tinggi di tangan kiri, mereka berteriak serempak: “Kembalikan lahan kami! Hak rakyat bukan untuk dirampas!”
Aksi ini bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan puncak dari tahun-tahun penindasan yang telah merampas mata pencaharian ratusan keluarga petani. Sejak 2013, ketika Hak Guna Usaha (HGU) nomor 08 diterbitkan untuk PT SJW, lahan perkebunan sawit masyarakat Silaut—yang luasnya mencapai ribuan hektare—diduga telah dibabat secara sepihak. Batas alami wilayah, Sungai Sindang Alam (atau Sindang Lama), yang diakui oleh Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) Sumatera Barat, ternyata diabaikan mentah-mentah oleh perusahaan. “Kami sudah susah payah nanam sawit, harapannya buahnya bisa dipetik di hari tua. Tapi tiba-tiba, buldoser mereka datang dan ratakan semuanya. Itu lahan warisan leluhur, bukan kertas izin semata,” ujar Ibu Inem, seorang petani berusia 62 tahun yang kehilangan satu hektare lahannya, sambil menahan isak di tengah kerumunan.

Demo ini, yang dikoordinasikan oleh Forum Masyarakat Silaut Bersatu, menekankan pesan damai: tidak ada niat untuk kekerasan atau kerusakan properti. Para demonstran hanya duduk di depan gerbang, bernyanyi lagu-lagu perjuangan, dan membacakan petisi yang ditandatangani ribuan warga. “Kami bukan preman, kami petani yang haus keadilan. PT SJW harus kembalikan lahan, cabut HGU-nya jika cacat hukum, dan bayar ganti rugi yang layak,” tegas Pak Rahman, ketua forum, yang juga mantan pekerja harian di perkebunan perusahaan tersebut.
Yang membuat aksi ini semakin menarik perhatian adalah kehadiran tak terduga dari delegasi Tim Berdiri Lurus Prabowo, kelompok relawan pendukung Presiden Prabowo Subianto yang datang langsung dari Jakarta. Delegasi yang dipimpin oleh aktivis lingkungan nasional, Andi Wijaya, tiba di lokasi pukul 19.00 WIB, membawa spanduk bertuliskan “Prabowo untuk Rakyat Kecil: Tanah Rakyat Bukan untuk Korupsi”. “Kami di sini bukan untuk politik, tapi untuk advokasi. Kasus Silaut ini mencerminkan kegagalan sistem perizinan tanah di daerah. Presiden Prabowo menjanjikan reformasi agraria; ini saatnya diuji di lapangan,” kata Wijaya kepada wartawan, sambil membagikan brosur tentang Undang-Undang Cipta Kerja yang sering dikritik karena memihak korporasi besar.
Baca juga : UEA Buka Peluang Lolos Piala Dunia 2026 Usai Tekuk Oman 2-1
Dari sisi akademis, konflik ini mengungkap luka sistemik dalam tata kelola sumber daya alam Indonesia. Menurut Dr. Lina Sari, pakar agraria dari Universitas Andalas, “Kasus PT SJW adalah contoh klasik ‘land grabbing’—pencaplokan lahan oleh korporasi yang mengabaikan hak adat dan batas administratif. HGU yang diterbitkan BPN pada 2013 diduga cacat prosedur karena tidak melibatkan kajian dampak sosial yang mendalam. Ini bukan hanya pelanggaran Perda Pesisir Selatan No. 5/2018 tentang Batas Wilayah, tapi juga Konvensi ILO 169 tentang Hak Masyarakat Adat yang diratifikasi Indonesia sejak 2017.” Penelitian Sari, yang diterbitkan di Jurnal Hukum Agraria tahun lalu, menyoroti bagaimana 70% konflik tanah di Sumatera Barat melibatkan perusahaan perkebunan, dengan dampak ekonomi yang merugikan petani kecil hingga Rp500 juta per hektare per tahun.
Bupati Pesisir Selatan, Hendrajoni, yang sebelumnya mengakui adanya pelanggaran oleh PT SJW pada pertemuan 2 Oktober lalu, kini berada di posisi sulit. “Kami akui ada ketidaksesuaian batas, tapi anggaran daerah terbatas untuk investigasi lapangan. Kami akan fasilitasi mediasi,” katanya melalui pernyataan resmi Dinas Pertanahan. Namun, kritik pedas datang dari masyarakat: mengapa APBD tak dialokasikan untuk keadilan rakyat? Hingga kini, perusahaan belum merespons secara resmi, meski kantornya di Kecamatan Lunang dilaporkan sepi sejak aksi dimulai.
Aksi demo berlangsung hingga pukul 21.00 WIB tanpa insiden, diakhiri dengan doa bersama di tepi Sungai Sindang Alam—simbol batas yang kini menjadi saksi bisu kezaliman. Bagi warga Silaut, ini bukan akhir, tapi awal perjuangan panjang. “Kami siap demo lagi jika hak kami tak kembali. Tanah ini darah daging kami,” tutup Pak Rahman, diiringi sorak-sorai massa yang tak kunjung reda.
Pewarta : Sami S
