RI News Portal. Jakarta, 22 November 2025 – Industri film horor Indonesia kembali memperkaya khazanahnya dengan pendekatan yang tak biasa. Dens Vision Multimedia memperkenalkan Dukun Magang, sebuah horor-komedi yang tidak sekadar menakut-nakuti, melainkan mengajak penonton merenungkan hubungan rapuh antara modernitas dan tradisi warisan leluhur.
Berbeda dari formula horor-komedi belakangan yang kerap mengandalkan jump-scare dan punchline instan, film ini memilih jalan sunyi: membiarkan kelucuan lahir dari kegagalan logika modern saat berhadapan dengan kosmologi desa yang masih hidup. Ide dasar cerita digagas Ki Semar RBS, sosok yang dikenal sebagai penjaga tradisi sekaligus pengamat budaya kontemporer, sementara Denny Januar bertindak sebagai produser eksekutif.
Cerita mengikuti Raka (Jefan Nathanio), mahasiswa semester akhir yang hidupnya hanya diisi deadline skripsi dan Wi-Fi kampus. Ketika ia terpaksa pulang kampung ke Desa Kalimati bersama Sekar (Hana Saraswati), pewaris garis dukun keluarga, sebuah kekhilafan kecil membuka segel Kuntilanak Hitam yang telah terkurung selama 12 tahun. Satu-satunya jalan keluar: Raka harus “magang” kepada Mbah Djambrong (Adi Sudirja), dukun eksentrik yang metodenya sama absurdnya dengan efektif.

Perjalanan magang itu membawa Raka melewati serangkaian ritual yang bagi orang kota terdengar seperti lelucon: topo patigeni di tengah sawah malam hari, menyiapkan sangkar ayam untuk menangkap roh gentayangan, hingga berburu tali pocong yang “kabur” dari kuburan. Yang menarik, film tidak pernah menertawakan tradisi itu sendiri; yang ditertawakan justru sikap Raka yang ngotot menggunakan logika kampus untuk memahami sesuatu yang memang tidak bisa dijelaskan dengan rumus.
“Film ini lahir dari kegelisahan sederhana: anak muda sekarang merasa cukup dengan Google untuk memahami segalanya,” ujar Ki Semar RBS dalam keterangannya, Sabtu (22/11/2025). “Padahal ada pengetahuan yang hanya bisa dipahami lewat pengalaman tubuh, lewat rasa, lewat takut yang nyata. Dinamika Raka dan Mbah Djambrong saya harapkan jadi cermin: akal sehat dan ilmu warisan tidak harus bermusuhan, mereka bisa berdialog—meski seringkali dengan cara yang sangat lucu.”
Pendekatan visual film mempertegas dualitas itu. Adegan kampus digambar dengan cahaya neon, garis lurus, dan simetri dingin. Begitu masuk Desa Kalimati, palet berubah drastis: warna tanah, kabut tipis, asap dupa, dan komposisi framing yang terasa “hidup” seolah kamera ikut gentayangan. Sutradara dengan sengaja membiarkan horor tetap mencekam—tidak ada musik sting berlebihan—sehingga ketika tawa muncul (misalnya dari ulah duo Boiman-Fajar atau kokok ayam jago di saat yang salah total), rasanya organik, bukan dipaksa.
Baca juga : Penyaluran BLTS Tahap II Dimulai Pekan Depan: 12 Juta KPM Diverifikasi setelah Pemutakhiran Data Intensif
Jefan Nathanio, yang mengaku dirinya “orang paling skeptis di lokasi syuting”, menyebut proses syuting ritual sangkar ayam sebagai titik balik pemahamannya. “Awalnya saya pikir ini cuma gimmick. Tapi begitu malam-malam beneran di sawah, gelap, dingin, dan ayamnya ngamuk… saya sadar, ada hal-hal yang nggak bisa dijelasin pakai logika biasa. Itu yang bikin peran Raka jadi relatable,” tuturnya.
Keberanian film ini terletak pada keputusannya untuk tidak merendahkan tradisi demi tawa murahan. Komedi hadir justru dari kegagalan karakter modern dalam memahami dunia yang lebih tua dari mereka—sebuah kritik halus terhadap generasi yang menganggap cukup “scroll” untuk mengklaim tahu segalanya.
Dengan deretan pemain pendukung seperti Mo Sidik, Mang Osa, Norma Cinta, Salsabila, serta penampilan spesial Dodit Mulyanto yang selalu berhasil mencuri adegan, Dukun Magang berhasil menjaga keseimbangan antara seram dan ngakak tanpa pernah terasa murahan.

Sebagai penutup, film ini menyisakan adegan post-credit yang bukan sekadar fanservice, melainkan membuka tabir bahwa dunia mistis yang baru saja kita saksikan hanyalah permukaan. “Kami tanam petunjuk sejak menit pertama,” ujar sutradara. “Post-credit itu seperti membuka pintu kecil ke lorong yang jauh lebih gelap dan lebih luas.”
Di tengah gempuran horor remaja urban atau komedi slapstick tanpa bobot, Dukun Magang hadir sebagai angin segar: sebuah horor-komedi yang tidak takut bertanya, “Kalau tradisi kita masih hidup, kenapa kita yang mati rasa?”
Pewarta : Vie

