RI News Portal. Salatiga 15 November 2025 – Fenomena penyimpangan dalam pengadaan infrastruktur pendidikan tinggi di Indonesia kembali menarik perhatian akademisi dan pengamat kebijakan publik, menyusul serangkaian temuan lapangan yang mengungkap ketidakpatuhan prosedural pada proyek-proyek bernilai miliaran rupiah. Analisis komparatif terhadap data historis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa sekitar 68% pengadaan barang dan jasa di lingkungan perguruan tinggi negeri berpotensi menyimpang, mencerminkan pola sistemik yang melibatkan lemahnya mekanisme pengawasan internal dan eksternal. Kasus terkini di Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga menjadi studi kasus representatif, di mana proyek pembangunan jalan masuk selatan senilai Rp 3.746.528.835,56 menampilkan serangkaian anomali yang berimplikasi pada efisiensi anggaran negara dan kualitas output infrastruktur.
Proyek tersebut, yang berada di Jalan Lingkar Selatan, Kelurahan Pulutan, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Jawa Tengah, merupakan inisiatif Kementerian Agama Republik Indonesia dengan pendanaan dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) UIN Salatiga Tahun Anggaran 2025. Pelaksana utama adalah CV Inter Desain sebagai pemenang tender, yang berkolaborasi dengan CV Artha Gemilang dan CV Monalisa Art. Dari perspektif tata kelola proyek, temuan empiris pada 14 November 2025 pukul 14.55 WIB mengindikasikan deviasi signifikan dari standar operasional prosedur (SOP) yang ditetapkan dalam regulasi pengadaan pemerintah.

Secara spesifik, observasi langsung di lokasi mengungkap empat indikator utama ketidakwajaran. Pertama, papan informasi proyek tidak dipasang pada posisi yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, melainkan ditempatkan secara acak di area parkir kendaraan, jauh dari zona konstruksi aktif. Hal ini menghambat akses informasi publik dan potensial menyulitkan pengawasan masyarakat sipil. Kedua, absennya penggunaan alat pelindung diri (APD) oleh tenaga kerja mencerminkan kelalaian dalam penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan dapat meningkatkan risiko kecelakaan serta biaya kompensasi tak terduga.
Ketiga, konstruksi saluran air tampak tidak dilengkapi lantai kerja (base course) yang memadai, sebuah elemen struktural esensial untuk menjamin daya tahan terhadap beban hidrolik dan erosi tanah. Dari sudut pandang teknik sipil, kelalaian ini berpotensi menurunkan umur pakai infrastruktur hingga di bawah estimasi desain standar, yang pada akhirnya membebani anggaran pemeliharaan jangka panjang. Keempat, terdapat indikasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) solar bersubsidi untuk alat berat, padahal peruntukan subsidi tersebut terbatas pada sektor transportasi publik dan perikanan sesuai Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Wawancara dengan Direktur Utama CV Inter Desain, Gatot, menghasilkan respons yang inkonsisten mengenai mekanisme distribusi BBM, dengan pernyataan berulang “tidak mengetahui detail” yang menimbulkan pertanyaan tentang transparansi rantai pasok.
Analisis kualitatif terhadap kasus ini, yang didasarkan pada triangulasi data lapangan, wawancara, dan dokumen tender, memperkuat hipotesis bahwa penyimpangan bukanlah insiden isolated melainkan manifestasi dari defisit akuntabilitas institusional. Dalam konteks lebih luas, pola serupa telah terdokumentasi dalam literatur akademis tentang korupsi infrastruktur, di mana faktor-faktor seperti kolusi tender, pengawasan lemah oleh satuan kerja, dan minimnya audit forensik berkontribusi pada inefisiensi alokasi sumber daya publik. Studi komparatif dengan proyek serupa di perguruan tinggi lain menunjukkan bahwa absennya integrasi teknologi pengawasan digital, seperti sistem pelaporan real-time, memperburuk vulnerabilitas terhadap penyalahgunaan.
Implikasi kebijakan dari temuan ini mendesak reformasi struktural. Rekomendasi utama mencakup kewajiban pemasangan dashboard digital untuk setiap proyek di atas Rp 1 miliar, peningkatan kapasitas auditor internal perguruan tinggi melalui pelatihan berbasis data analytics, serta integrasi mekanisme whistleblower anonim yang terhubung langsung dengan KPK. Selain itu, evaluasi ex-ante terhadap kualifikasi konsorsium kontraktor perlu diperketat untuk mencegah pembentukan aliansi oportunistik yang rentan terhadap konflik kepentingan.

Masyarakat akademis dan kelompok pemerhati governance mendesak intervensi segera dari otoritas anti-korupsi untuk melakukan audit komprehensif terhadap proyek jalan masuk selatan UIN Salatiga. Langkah ini tidak hanya bertujuan mengungkap potensi kerugian keuangan negara, tetapi juga membangun preseden bagi pengelolaan infrastruktur pendidikan yang lebih akuntabel. Tanpa tindakan tegas, risiko erosi kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi akan semakin mendalam, menghambat pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan nasional.
Pewarta : MM

