
RI News Portal. Lampung Barat, 20 Agustus 2025 – Kasus dugaan penyimpangan dalam pembangunan infrastruktur desa di Pekon Heni Arong, Kecamatan Lumbok Seminung, Kabupaten Lampung Barat, telah menjadi sorotan utama dalam upaya pemberantasan korupsi di tingkat desa. Berbeda dengan pemberitaan sensasional di media daring yang sering menekankan aspek viral dan konflik antarpihak, analisis ini menyoroti proses hukum secara sistematis, berdasarkan prinsip-prinsip akuntabilitas publik dan regulasi pengelolaan dana desa di Indonesia. Dugaan ini berawal dari penggunaan material yang tidak sesuai spesifikasi dalam proyek jalan rabat beton, yang didanai melalui Dana Desa (DD), dan telah memicu serangkaian tindakan investigatif oleh lembaga penegak hukum.
Proyek pembangunan jalan rabat beton di Pekon Heni Arong, yang dilaksanakan pada periode anggaran 2022-2023, menjadi titik awal kontroversi ketika masyarakat setempat dan aktivis mendeteksi ketidaksesuaian antara spesifikasi teknis yang ditetapkan dengan realisasi di lapangan. Menurut laporan awal, material yang digunakan diduga tidak memenuhi standar kualitas, seperti ketebalan beton yang kurang dari ketentuan 12 cm dan campuran agregat yang tidak proporsional, yang berpotensi menimbulkan kerugian negara. Fenomena ini bukanlah kasus isolasi; data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menunjukkan bahwa penyimpangan dana desa sering kali terkait dengan kurangnya pengawasan internal, di mana lebih dari 20% kasus korupsi desa di Indonesia melibatkan infrastruktur fisik sejak 2015.

Puncak dari isu ini adalah pelaporan resmi oleh Ketua Laskar Merah Putih Perjuangan (LMPP) Lampung Barat beserta timnya ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Liwa pada awal 2025. Laporan tersebut menyoroti dugaan kejanggalan dalam penggunaan DD untuk item pembangunan jalan rabat beton, dengan permintaan eksplisit untuk melakukan audit menyeluruh. Dalam pernyataan resminya, Ketua LMPP menekankan urgensi audit untuk mencegah tindak pidana korupsi, dengan menyatakan: “Kami meminta pihak Kejaksaan Negeri Liwa segera melakukan audit penggunaan Dana Desa pada item pembangunan jalan rabat beton yang diduga menggunakan material tidak sesuai spesifikasi, guna memastikan tidak terjadi tindak pidana korupsi.” Pendekatan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mewajibkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan DD, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 yang mengatur mekanisme pengawasan.
Setelah menerima laporan, Kejari Liwa melimpahkan berkas ke Inspektorat Kabupaten Lampung Barat untuk audit investigatif. Proses ini mencerminkan kolaborasi antarlembaga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), di mana inspektorat bertindak sebagai auditor internal sebelum penanganan pidana. Hasil audit investigatif yang dilakukan di lokasi proyek mengonfirmasi adanya dugaan ketidaksesuaian material dengan standar spesifikasi, yang berujung pada potensi kerugian negara. Irbansus (Inspektur Pembantu Khusus) Inspektorat Lampung Barat, dalam wawancara resmi, membenarkan temuan tersebut: “Benar bahwa penggunaan material ditemukan adanya dugaan tidak sesuai standar spesifikasi pembangunan jalan rabat beton hingga menimbulkan dugaan korupsi yang harus dikembalikan oleh Peratin Pekon Heni Arong.” Temuan ini tidak hanya menyoroti kegagalan teknis, tetapi juga potensi pelanggaran etika kepemimpinan desa, di mana peratin sebagai penanggung jawab utama DD wajib memastikan efisiensi dan efektivitas penggunaan anggaran.
Meskipun demikian, proses hukum masih memberikan ruang bagi Peratin Pekon Heni Arong untuk mengembalikan kerugian negara dalam batas waktu yang ditentukan sesuai Pasal 4 Undang-Undang Tipikor, yang memungkinkan pengembalian sukarela sebagai upaya mitigasi sebelum tuntutan pidana. Irbansus menambahkan: “Soal adanya dugaan temuan dan jumlah korupsi yang harus dikembalikan, kami masih memberikan waktu sesuai undang-undang tindak pidana korupsi yang berlaku.” Jumlah kerugian negara yang pasti belum diumumkan secara resmi, tetapi estimasi awal dari sumber terkait menunjukkan potensi mencapai puluhan juta rupiah, mengingat volume proyek yang mencakup panjang jalan hingga ratusan meter.
Kasus ini memiliki implikasi lebih luas terhadap tata kelola desa di Indonesia. Menurut studi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi di tingkat desa sering kali disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan masyarakat dan kurangnya kapasitas aparatur desa dalam perencanaan infrastruktur. Di Lampung Barat saja, tercatat beberapa kasus serupa, termasuk eks peratin lain yang tersandung korupsi penyertaan modal badan usaha milik pekon (BUM Pekon). Untuk mencegah rekurensi, diperlukan penguatan peran Badan Pengawas Desa (BPD) dan integrasi teknologi seperti Sistem Informasi Desa (SID) untuk transparansi real-time.
Hingga saat ini, Peratin Pekon Heni Arong belum memberikan tanggapan resmi terkait tuduhan ini, meskipun pihak inspektorat menyatakan bahwa proses audit masih berlanjut. Masyarakat diharapkan terus mengawasi, sementara lembaga penegak hukum diminta untuk menjaga independensi dalam penanganan kasus. Analisis ini menegaskan bahwa pemberantasan korupsi desa bukan hanya soal hukuman, melainkan pembangunan sistem yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.
Pewarta : IF
