
RI News Portal. Lampung Barat, 30 Agustus 2025 – Di tengah upaya pemerintah pusat memperkuat ketahanan pangan nasional melalui alokasi dana desa, sebuah kasus dugaan penyimpangan muncul di Pekon Sinar Jaya, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Lampung Barat. Program ketahanan pangan yang bersumber dari Dana Desa (DD) tahun 2025, dengan total nilai lebih dari Rp 60 juta, diduga difiktifkan oleh pemerintahan setempat. Hal ini berpotensi melanggar kebijakan wajib minimal 20 persen alokasi DD untuk sektor tersebut, sebagaimana diatur dalam regulasi terkait.
Kasus ini menyoroti kerentanan tata kelola dana desa di tingkat lokal, di mana kewenangan pengelolaan sering kali berbenturan dengan prinsip akuntabilitas publik. Menurut keterangan dari beberapa aparatur pekon yang enggan disebut namanya, dana tersebut diduga dipinjam oleh seorang oknum sekretaris desa (sekdes) yang merangkap sebagai bendahara. “Dana desa itu diperuntukkan untuk masyarakat, dinikmati masyarakat, hanya pengelolaannya saja melalui pemerintahan desa. Mentang-mentang punya kuasa, malah semena-mena,” ujar salah seorang aparatur berinisial E saat dikonfirmasi. Ia menambahkan harapan agar aparat penegak hukum (APH) segera melakukan audit terhadap kepala desa (kades) dan sekdes sebagai kuasa pengguna anggaran.

Pekon Sinar Jaya, yang terletak di wilayah pegunungan Lampung Barat dengan potensi pertanian kopi dan lada, seharusnya memanfaatkan alokasi ini untuk program nyata seperti pengembangan lumbung pangan atau dukungan peternakan hewani. Namun, bukannya terealisasi, program ketahanan pangan nabati dan hewani justru menjadi catatan fiktif dalam laporan pertanggungjawaban. Dugaan ini semakin kuat setelah klarifikasi langsung dengan yang bersangkutan, GN, selaku sekdes dan bendahara. GN mengakui adanya peminjaman dana tersebut dan berjanji akan mengembalikannya secepat mungkin. Alasannya, ia perlu mencari “uang talangan” untuk menutupi kekurangan tersebut.
Dari perspektif akademis, kasus semacam ini mencerminkan tantangan struktural dalam implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021, yang menjadi dasar awal prioritas penggunaan DD, menekankan alokasi minimal 20 persen untuk ketahanan pangan sebagai upaya mitigasi krisis pangan pasca-pandemi. Kebijakan ini kemudian diperkuat dalam regulasi turunan untuk tahun 2025, di mana desa diwajibkan mengintegrasikan program ini dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekadar pencatatan administratif. Namun, tanpa pengawasan ketat dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau inspektorat daerah, potensi penyalahgunaan seperti peminjaman pribadi menjadi celah yang sering dieksploitasi.
Baca juga : Kerusuhan Pascabubaran di Semarang: Analisis Dinamika Konflik Sosial dan Respons Aparat Keamanan
Analis governance dari Universitas Lampung, yang dimintai pendapat secara terpisah, menilai bahwa kasus di Pekon Sinar Jaya bukanlah insiden terisolasi. “Ini menunjukkan kegagalan dalam mekanisme checks and balances di tingkat desa. Peminjaman dana publik tanpa prosedur resmi bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi ringan, meski sering kali diselesaikan secara internal,” katanya. Ia menyarankan agar pemerintah daerah Lampung Barat memperkuat pelatihan transparansi bagi aparatur desa, termasuk penggunaan platform digital untuk pelaporan real-time DD.
Sementara itu, masyarakat Pekon Sinar Jaya, yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian, merasakan dampak langsung dari dugaan penyimpangan ini. Program ketahanan pangan yang seharusnya mendukung distribusi bibit unggul atau bantuan ternak, kini hanya menjadi janji kosong. Beberapa warga menyatakan kekhawatiran bahwa tanpa intervensi cepat, kepercayaan terhadap pemerintahan desa akan semakin erosi, terutama di tengah ancaman inflasi pangan nasional.
Pihak berwenang di Kabupaten Lampung Barat belum memberikan respons resmi hingga berita ini diturunkan. Namun, janji pengembalian dari GN menjadi titik awal yang diharapkan dapat mencegah eskalasi. Kasus ini menjadi pengingat bagi seluruh desa di Indonesia: dana desa bukanlah milik pribadi, melainkan amanah untuk kesejahteraan kolektif. Apabila dugaan ini terbukti, bukan hanya sanksi administratif yang diperlukan, tapi juga reformasi sistemik untuk memastikan kebijakan ketahanan pangan benar-benar menyentuh akar rumput.
Pewarta : IF
