
RI News Portal. Lampung Timur – Dugaan pelanggaran prosedur hukum dalam perkara perceraian antara Mispiran (48), warga Desa Labuhan Ratu, dan mantan istrinya, Erna, menyita perhatian publik dan pegiat hukum di Lampung Timur. Kasus yang diputus oleh Pengadilan Agama (PA) Sukadana pada 2022 ini mencuat kembali setelah Mispiran mengaku tidak pernah menerima surat panggilan sidang dan baru mengetahui putusan cerai dari pihak luar, yakni seorang pria berinisial KOM.
Lebih ironis, KOM mengaku menjadi perantara dalam pengurusan perceraian tersebut—dengan menghubungi oknum di lingkungan KUA dan pengadilan. Ia juga menerima dana puluhan juta rupiah dari Erna, yang saat itu tengah bekerja di luar negeri.

Secara hukum, peran pihak ketiga non-advokat seperti KOM dalam mengurus perkara cerai, tidak dibenarkan dan melanggar sistem hukum peradilan di Indonesia. Sesuai Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang berwenang memberikan jasa hukum hanyalah mereka yang berstatus advokat, pengacara negara, atau bantuan hukum resmi.
Selain itu, tindakan perantara seperti KOM juga bisa dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan dan perintangan proses peradilan, dengan dasar pasal-pasal berikut:
Baca juga : Menuju Kemandirian Fiskal: Kanwil DJPb Sumatera Barat Dorong Optimalisasi PAD dan Efisiensi Belanja Daerah
1. Pasal 263 KUHP – Pemalsuan Dokumen
“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal… diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”
Jika terbukti alamat tergugat dipalsukan atau dimanipulasi agar gugatan bisa diproses tanpa sepengetahuan Mispiran, maka tindakan ini memenuhi unsur pemalsuan yang merugikan hak pihak lain dalam peradilan.
2. Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses pemeriksaan dalam perkara korupsi…”
Meskipun perkara ini bukan korupsi dalam pengertian umum, namun praktik perantara ilegal dalam proses hukum berpotensi masuk dalam kategori obstruction of justice, terlebih bila disertai gratifikasi atau suap kepada aparat.
3. Pasal 55 KUHP – Penyertaan Tindak Pidana
“Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana, semuanya dikenakan sebagai pelaku tindak pidana.”
Bila benar oknum di KUA maupun di lingkungan PA Sukadana turut serta dalam proses ilegal ini, mereka dapat dijerat sebagai pelaku bersama (delneming), meskipun tidak bertindak langsung.
Menurut Ketua DPD GML-IB Lampung Timur, Safarudin, praktik ini tidak hanya cacat prosedur tetapi juga mencoreng martabat institusi hukum.
“Kalau benar penggugat datang sendiri, lalu apa gunanya perantara dan dana puluhan juta itu? Ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi juga indikasi adanya persekongkolan administratif untuk menguntungkan satu pihak,” ujar Safarudin.
Dalam konteks hukum perdata dan administrasi peradilan, hak tergugat untuk hadir dan membela diri adalah prinsip utama due process of law. Pemalsuan alamat tergugat, penggunaan perantara tak sah, serta dugaan adanya biaya tidak resmi merupakan indikasi kuat bahwa proses telah keluar dari koridor hukum yang sah.

GML-IB dan sejumlah aktivis hukum lokal mendesak agar Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial segera turun tangan memeriksa:
- Keabsahan kehadiran penggugat saat mendaftar.
- Verifikasi surat panggilan yang dikirim ke alamat tergugat.
- Dugaan keterlibatan oknum perantara di luar sistem peradilan.
Kasus ini menunjukkan urgensi penataan ulang integritas sistem peradilan agama, khususnya dalam hal verifikasi dokumen, kehadiran para pihak, dan pengawasan terhadap praktik “calo hukum” yang menyusup ke celah administrasi.
Jika terbukti, peran perantara seperti KOM bukan hanya mencederai rasa keadilan—tetapi juga dapat dikenai sanksi pidana berat. Sebuah pengingat bahwa lembaga peradilan seharusnya menjadi tempat pencarian keadilan yang sah dan terbuka, bukan ladang praktik bayangan yang melukai prinsip fair trial.
Kasus perceraian antara Mispiran dan Erna di PA Sukadana membuka ruang diskusi penting tentang integritas proses hukum di pengadilan agama. Dugaan pemalsuan alamat, keterlibatan perantara tak resmi, serta tidak sinkronnya pernyataan antara pihak-pihak terkait menjadi indikator bahwa sistem ini memerlukan pengawasan lebih ketat.
Keterlibatan lembaga pengawas, audit administratif, hingga kemungkinan gugatan pembatalan putusan oleh pihak tergugat menjadi langkah-langkah hukum yang kini perlu dipertimbangkan demi keadilan dan transparansi hukum yang menjunjung tinggi etika dan hak setiap warga negara.
Pewarta : Lii ( Team )


Keberhasilan dijamin ketika seseorang takut akan rasa sakit penyesalan lebih dari rasa sakit dari proses.
Surga ditelapak kaki Ibu