
RI News Portal. Semarang 9 Oktober 2025 – Kasus dugaan pelanggaran pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) oleh PT Hwa Seuang Indonesia (HSI) di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, kembali mencuat dan menjadi sorotan publik. Perusahaan yang berlokasi di Jalan Krasak–Banyuputih, Desa Banyuputih, Kecamatan Kalinyamatan, ini diduga melakukan penanganan limbah B3 yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan masyarakat.
Kajian hukum lingkungan dalam kasus ini relevan untuk menganalisis pelanggaran yang terjadi, sanksi yang dapat diterapkan, serta langkah penegakan hukum yang diperlukan.
Temuan Pelanggaran dan Dampak Lingkungan
Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh sejumlah media, ditemukan indikasi bahwa PT HSI melakukan pengambilan dan pengangkutan limbah B3 tanpa izin resmi serta menggunakan armada yang tidak memenuhi standar teknis sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, limbah berupa blotong atau kain perca yang diduga terkontaminasi bahan kimia dibuang ke Tempatcelik Pembuangan Akhir (TPA) tanpa pengolahan yang memadai.
Praktik ini berpotensi mencemari tanah dan air tanah, merusak struktur tanah, serta mengganggu ekosistem di sekitar lokasi pembuangan.

Secara hukum, pengelolaan limbah B3 diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah B3. Pasal 59 UU PPLH mewajibkan setiap penghasil limbah B3 untuk mengelola limbahnya mulai dari penyimpanan, pengangkutan, hingga pemusnahan sesuai standar teknis yang ditetapkan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat diklasifikasikan sebagai tindakan yang merugikan lingkungan hidup dan masyarakat sekitar.
Ketua DPW LSM PEKAT-IB Jawa Tengah, Joko Budi Santoso, menegaskan bahwa praktik yang dilakukan PT HSI dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum lingkungan. Menurut Pasal 109 UU PPLH, pelaku usaha yang dengan sengaja membuang limbah B3 tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda hingga Rp15 miliar. Selain itu, Pasal 112 UU PPLH juga mengatur sanksi administratif, seperti teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan izin lingkungan, yang dapat diterapkan oleh pemerintah daerah atau instansi terkait.
Dari sudut pandang hukum perdata, perusahaan dapat dituntut untuk melakukan pemulihan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 87 UU PPLH. Pemulihan ini mencakup upaya pengolahan limbah yang telah dibuang secara tidak sah serta kompensasi atas kerugian lingkungan yang ditimbulkan. Selain itu, prinsip polluter pays (pencemar membayar) yang diadopsi dalam hukum lingkungan internasional juga relevan untuk memastikan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Kasus ini menyoroti tantangan dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia, khususnya di tingkat daerah. Kurangnya pengawasan ketat dari Pemerintah Kabupaten Jepara terhadap aktivitas perusahaan menunjukkan lemahnya koordinasi antara instansi pemerintah dan pelaku usaha dalam memastikan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.
Baca juga : Dugaan Penyimpangan dalam Pelaksanaan Program P3-TGAI di Kabupaten Sragen
LSM PEKAT-IB mendesak Pemkab Jepara untuk segera bertindak tegas, termasuk melakukan inspeksi mendadak dan mengevaluasi izin lingkungan PT HSI. Langkah ini penting untuk mencegah dampak lanjutan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Selain itu, ketiadaan tanggapan resmi dari PT HSI dan Pemkab Jepara hingga saat ini menimbulkan kekhawatiran akan transparansi dan akuntabilitas.
Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam menegakkan hukum lingkungan. Penegakan hukum yang konsisten dan transparan menjadi kunci untuk memberikan efek jera kepada pelaku usaha yang melanggar serta memastikan pelestarian lingkungan hidup.
Untuk menangani kasus ini, beberapa langkah hukum dan administratif perlu segera dilakukan. Pertama, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Jepara harus melakukan investigasi menyeluruh untuk memverifikasi temuan media dan LSM.
Jika pelanggaran terbukti, sanksi administratif dan/atau pidana harus segera diterapkan sesuai ketentuan hukum. Kedua, pemerintah daerah perlu meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan penghasil limbah B3, termasuk dengan memperkuat kapasitas teknis dan sumber daya pengawas lingkungan.
Ketiga, edukasi kepada pelaku usaha mengenai pengelolaan limbah B3 yang sesuai regulasi perlu digalakkan untuk mencegah pelanggaran serupa di masa depan. Terakhir, partisipasi masyarakat dan LSM dalam pengawasan lingkungan harus didukung sebagai bagian dari prinsip tata kelola lingkungan yang baik.
Kasus PT HSI menjadi pengingat bahwa pembangunan industri harus sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pelestarian lingkungan hidup bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga pelaku usaha dan masyarakat. Dengan penegakan hukum yang tegas dan transparan, diharapkan kasus serupa dapat diminimalisir, sehingga lingkungan yang sehat dan lestari dapat terwujud untuk generasi mendatang.
Pewarta : Dandi Setiawan
